BANYUWANGI, KOMPAS.com - Bupati Banyuwangi Ipuk Fiestiandani Azwar Anas meminta guru dan kepala sekolah lebih proaktif menghadapi siswa. Pernyataan itu disampaikan Ipuk menyusul tingginya angka anak putus sekolah di Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur.
Menurut Ipuk, kasus anak putus sekolah tak melulu karena masalah biaya. Tak jarang, faktor keluarga dan lingkungan memengaruhi psikologis anak sehingga menjadi rentan bahkan putus sekolah.
Baca juga: Razia Knalpot Brong di Banyuwangi, Polisi Sita 79 Sepeda Motor
Saat berkunjung ke Desa Genteng Kulon, Kecamatan Genteng, Banyuwangi, Ipuk mendatangi GRP, siswa SMP yang rentan putus sekolah. Setelah diperiksa, GRP tinggal bersama ibunya di rumah kontrakan.
Setiap hari, sang ibu sibuk bekerja sebagai pembuat kue. Sudah tiga bulan, GRP tak masuk sekolah. Saat ditanya, anak itu menjawab dengan alasan mengantuk dan malas.
"Masak tidak kasihan sama ibumu. Sekolahnya juga dekat dari rumah. Ibumu sudah kerja keras membanting tulang untuk kebutuhan," kata Ipuk, yang membuat ibunda GRP meneteskan air mata, Selasa (4/4/2023).
Menurut Ipuk, GRP merupakan anak rentan putus sekolah karena faktor lingkungan. Padahal, GRP masuk ke sekolah favorit dan gratis.
"Di Banyuwangi juga ada banyak program untuk pendidikan. Jadi tidak ada alasan untuk tidak sekolah," ungkap Ipuk.
Ipuk juga mendatangi rumah keluarga MA, di Dusun Cangaan, Desa Genteng Wetan. Anak berusia 16 tahun itu putus sekolah saat kelas tujuh SMP.
Di rumah berukuran 3x6 itu, MA tinggal bersama paman dan bibinya di rumah berdinding triplek.
Kedua orangtua kandung MA telah bercerai, dan memiliki kehidupan sendiri. Selain paman dan bibi, MA tinggal bersama dua adik sepupunya di rumah itu.
Ipuk datang bersama Camat Genteng Satrio, Kepala Desa Genteng Wetan M Syukri, dan Kepala Bidang SMP Dinas Pendidikan Banyuwangi Alfian.
"Kenapa tidak sekolah? Sekolahnya kan gratis. Ayo cerita kalau ada masalah, biar bisa dibantu," kata Ipuk, Selasa (4/4/2023).
"Karena biaya Bu. Sekolahnya juga jauh, saya mau sekolah lagi," jawab MA menanggapi pertanyaan Ipuk.
MA memiliki adik kandung, SA (11), yang tinggal bersama neneknya tak jauh dari rumah itu. SA yang menginjak bangku kelas lima sekolah dasar (SD) juga putus sekolah sejak enam bulan lalu.
Mendengar cerita mereka, Ipuk meminta camat, kepala desa, dan dinas pendidikan, untuk melakukan pendampingan dan memastikan mereka kembali sekolah.
MA akan dimasukkan ke Pelatihan Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) agar cepat lulus dan melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
"Kita juga beri sepeda untuk berangkat sekolah. Dikasih juga bantuan uang saku," ungkap Ipuk.