Komisioner Komnas Perempuan, Tiasri Wiandani mengatakan penyekapan 19 perempuan di Pasuruan merupakan fenomena gunung es dari praktik perdagangan perempuan dan anak untuk eksploitasi seksual.
“Ini menjadi fenomena gunung es karena sindikat menyasar kelompok perempuan dan anak yang merupakan kelompok rentan. Dengan segala tipu daya dan strategi, mereka merekrut dan menjebak korban,” kata Tiasri.
Tiasri memprediksi, hingga kini masih banyak perempuan dan anak yang menjadi korban TPPO eksploitasi seksual yang belum terungkap.
Hal ini disebabkan sindikat TPPO bekerja secara terorganisir dan memahami celah untuk manipulasi kelompok rentan tersebut.
Dia menambahkan, modus yang biasanya digunakan para pelaku, di antaranya adalah membangun relasi secara personal untuk mempengaruhi korban. Kemudian, pelaku juga menjanjikan pekerjaan yang mudah dan memiliki gaji yang tinggi.
“Kami mendorong ketika ada kasus TPPO, aparat penega hukum tidak hanya berfokus pada penegakan hukum bagi pelaku, tapi juga memberikan ruang pemulihan bagi korban agar tidak mengalami trauma berkepanjangan dan tidak terjebak kembali,” katanya.
Senada, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Mike Verawati Tangka mengatakan, modus TPPO eksploitasi seksual juga mengalami perkembangan yang pesat, dari dulu perekrutan langsung, hingga kini menggunakan sosial media.
“Modus terus berkembang dan bertambah. Dari tawaran gaji tinggi dengan pekerjaan di pabrik atau yang menarik, menggunakan prosedur tidak resmi, lalu ditempatkan ke tempat pijat, bar, dan tempat prostitusi lain,” ujarnya.
“Bahkan ada modus yang melalui sarana pendidikan seperti disekolahkan, dan event-event besar. Mereka kini merekut dengan sarana media sosial yang akhirnya menimbulkan lebih banyak korban,” kata Mike.
Baca juga: Ayah Tiri Remaja 15 Tahun di Balikpapan Diduga Terlibat Human Trafficking
Untuk itu, Tiasri dan Mike meminta masyarakat untuk selalu waspada terhadap tawaran-tawaran yang mengiurkan dengan menggunakan cara-cara perekrutan yang tidak resmi baik secara langsung maupun melalui sosial medias.
“Lalu, untuk meminimalisir atau menghilangkan TPPO yang sindikatnya semakin massif dan pesat, dari sisi regulasi dan penegakan hukum, maka perlu evaluasi holistik dari kerangka pencegahan, kerja sama antar pihak, penegakan hukum hingga sosialisasi,” kata Mike.
“Sekarang melalui sosial media jauh lebih berbahaya karena begitu cepat info menyebar, orang mudah tergoda dan ditipu dengan permainan kata-kata di media ini. Apalagi dengan diiming-imingi kerja di sini dengan gaji besar, dan pengaruh Covid masih kuat memukul ekonomi masyarakat sehingga banyak yang terpengaruh,” katanya.
Selain itu, Joris juga mengatakan, TPPO prostitusi seperti balon. Joris mencontohkan kawasan Tretes, Pringen, Kabupaten Pasuruan yang menyimpan bisnis prostitusi yang terselubung.
“Penutupan lokalisasi itu seperti teori balon. Ketika kita tutup di sini, maka akan muncul di sana dan banyak tempat. Hal itu karena masih ada permintaan sehingga industri seks tetap berjalan. Bukan hanya di Tretes, tapi di mana-mana. Industri ini, yang memicu TPPO, seakan-akan tidak ada tapi memang ada,” kata Joris Lato.
Baca juga: 6 Wanita WN Filipina Jadi Korban Human Trafficking di Sulut, 4 Sindikat Ditangkap Polisi
Selain itu, Joris menegaskan, jumlah korban TPPO prostitusi jauh lebih besar daripada yang terungkap ke publik dan melalui proses hukum.
“Kalau dulu fokus pada satu lokasi, kalau sekarang, saya misalnya, dengan lima orang cukup memperdagangkan orang sekian. Ini sekarang terpecah-pecah, jadi pengungkapan 19 orang ini adalah fenomena gunung es. Di luar sana masih banyak sebetulnya korban,” katanya kepada wartawan di Surabaya, Jawa Timur, Roni Fauzan yang melaporkan pada BBC News Indonesia.
Untuk itu, menurutnya, salah satu upaya untuk mengurangi TPPO eksploitasi seksual adalah dengan cara menaikan posisi tawar perempuan, melalui jalur pendidikan dan keterampilan.
“Tidak ada satupun perempuan yang ikhlas memberikan tubuhnya kepada laki-laki yang tidak dicintai. Artinya mereka itu berada dalam ruang eksploitasi karena kompleksitas persoalan hidup. Akar ini yang harus diatasi,” katanya.
Baca juga: Jalan Terjal Memberantas Human Trafficking, Migrant Care: Komitmen Negara Masih di Atas Kertas
Menurut data sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dari Januari hingga Juni 2020, terdapat 50 kasus eksploitasi seksual pada perempuan dewasa dan 50 anak korban perdagangan orang untuk tujuan eksploitasi seksual.
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia mencatat, dari 234 anak yang menjadi korban TPPO dan eksploitasi dari Januari hingga April 2021, sekitar 83% adalah korban kasus prostitusi.
Dari jumlah itu, medium anak yang menjadi korban eksploitasi seksual, 60% menggunakan jejaring media sosial, dan 40% secara konvensional (didatangkan, diajak dan direkrut secara fisik).
Dalam aksinya pelaku mucikari atau germo, memasang iklan anak, menjajakan layanan hubungan intim disertai harga.
Baca juga: Pemicu Human Trafficking, dari Kemiskinan hingga Kurangnya Lapangan Pekerjaan
Tahun 2022, KPAI menerima pengaduaan kasus TPPO sebanyak 45 laporan. Salah satunya adalah kasus yang menimpa remaja perempuan NAT, 15 tahun, yang disekap di tiga apartemen berbeda di wilayah Tangerang, Jakarta Barat, dan Jakarta Utara.
Korban dipaksa menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK) sepanjang satu setengah tahun.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.