Jauh sebelum terjadinya Pertempuran Surabaya, sempat terjadi Insiden Hotel Yamato.
Dalam insiden itu, arek-arek Surabaya menggeruduk Hotel Yamato, dan menurunkan bendera merah putih biru milik Belanda, merobek warna biru sehingga menyisakan kain merah dan putihnya saja.
Selain karena Belanda dinilai melakukan tindakan provokatif yaitu mengibarkan bendera merah putih biru di hotel tersebut, Insiden Hotel Yamato juga dipengaruhi gagalnya perundingan antara Residen Surabaya Soedirman dan WVC Ploegman untuk menurunkan bendera Belanda tersebut.
Di sisi lain, kekalahan Jepang membuat pasukan mereka harus meninggalkan tanah air dan menyerahkan senjata.
Maka pada tanggal 3 Oktober 1945 Laksamana Madya Shibata Yaichiro di Surabaya memberikan senjata kepada rakyat Indonesia yang akan bertanggung jawab untuk menyerahkan senjata-senjata itu kepada pihak sekutu.
Pada tanggal 25 Oktober 1945, pasukan sekutu yaitu Brigade 49 di bawah komando Brigjen Mallaby tiba di Surabaya menggunakan kapal perang Eliza Thompson.
Namun gerakan pasukan sekutu menyimpang dari tujuan awal yaitu melucuti senjata Jepang, mengevakuasi tawanan, dan menjaga ketertiban.
Pda 27 Oktober 1945, tentara sekutu justru menyerbu penjara di Surabaya untuk membebaskan perwira-perwira Sekutu dan Pegawai RAPWI (Recovery of Allied Prisoners of War and Internees).
Tak hanya itu, pasukan sekutu dengan cepat menduduki tempat-tempat vital seperti lapangan terbang, kantor pos, radio Surabaya, gedung internatio, pusat kereta api, pusat oto mobil dan lain-lain, dengan maksud untuk menduduki seluruh kota Surabaya.
Dari peristiwa ini, pasukan sekutu diduga ditunggangi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yaitu sipil Belanda yang menyusup untuk memulihkan kembali kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia.
Hal ini lantaran pihak sekutu kemudian menjatuhkan selebaran yang isinya memerintahkan rakyat Surabaya dan Jawa Timur untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan perang milik Jepang dalam tempo 48 jam tanpa sepengetahuan Brigjen Mallaby.
Selanjutnya Jenderal Hawthorn juga mengeluarkan ultimatum akan menghukum seberat-beratnya bagi yang tidak mematuhi perintah Inggris yang menyulut kemarahan rakyat.
Pada tanggal 28 Oktober 1945 terjadi pertempuran antara rakyat Surabaya yang dipimpin dr. Mustopo melawan pasukan sekutu.
Di hari yang sama, ketika tengah malam, Bung Tomo mengumandangkan semangat perlawanan terhadap penjajah melalui Radio Pemberontakan terhadap sekutu, yang menimbulkan suasana semangat revolusi ke seluruh kota.
Hal ini membuat pada 29 Oktober 1945 para pemuda Surabaya melakukan perlawanan yang berhasil menguasai kembali obyek vital yang sebelumnya diduduki sekutu.