BLITAR, KOMPAS.com - LFN, pelajar SMP berusia 13 tahun yang sedang mengendarai sepeda motor menabrak seorang pejalan kaki hingga tewas.
Peristiwa itu terjadi di depan rumah korban bernama Djasmani (61) di jalan umum Desa Tingal, Kecamatan Garum, Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Minggu (2/1/2022) pagi.
Kasatlantas Polres Blitar AKP I Putu Angga Feriyana mengatakan, saat kejadian, Djasmani sedang berjalan di pinggir jalan searah dengan kendaraan yang dikemudikan LFN.
"Jadi korban tertabrak kendaraan anak SMP itu dari belakang. Korban mengalami luka parah pada bagian kepala dan meninggal saat dalam perjalanan ke rumah sakit," kata Angga saat dikonfirmasi Kompas.com, Rabu (5/1/2022).
Baca juga: Warga Tutup Akses Menuju Pabrik Gula di Blitar, Minta Jalan yang Rusak Parah Diperbaiki
Menurut Angga, ketika kecelakaan itu terjadi LFN mengemudikan sepeda motor dengan memboncengkan seorang temannya.
"Informasi dari penyidik, anak tersebut tidak melihat korban yang sedang berjalan kaki di pinggir jalan lantaran berkendara sambil bercanda dengan temannya," ucapnya.
Angga mengatakan, LFN dapat dijerat dengan Pasal 359 KUHP atau Undang-undang Lalu Lintas dan Jalan Nomor 22 Tahun 2009 dengan ancaman hukuman 6 tahun penjara.
Namun karena LFN baru berusia 13 tahun, lanjutnya, dalam proses hukumnya nanti akan mendapatkan diversi atau penyelesaian di luar pengadilan.
"Berkas perkara tetap kita proses di kepolisian. Tapi nanti dia akan mekanisme diversi, sesuai Undang-undang perlindungan anak," jelasnya.
Baca juga: Saksi Mata Gambarkan Kecelakaan di Jalan Lingkar Salatiga Sangat Mengerikan
Diversi adalah mekanisme penyelesaian hukum di luar sistem peradilan pidana.
Syarat seseorang mendapatkan diversi, kata Angga, pertama, ancaman hukumannya di bawah 7 tahun penjara dan pelaku belum pernah melakukan hal yang sama.
Kata Angga, kedua syarat untuk mendapatkan diversi itu dapat dipenuhi LFN sehingga dirinya akan terbebas dari sanksi sebagaimana diatur dalam perundang-undangan.
"Saya kira semangat dari diversi itu adalah agar anak tidak terampas kemerdekaannya. Jadi akan lebih ke penyelesaian kekeluargaan," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Angga, polisi akan lebih mengutamakan upaya pembinaan terhadap LFN jika proses hukum sudah selesai.
Adanya prinsip diversi terkait anak, kata Angga, menunjukkan bahwa tindak pelanggaran hukum oleh anak sebenarnya merupakan kesalahan banyak pihak terutama orangtuanya.
Menurut Angga, anak di bawah umur tidak akan dapat dengan mudah mengemudikan kendaraan bermotor jika orangtua atau orang di lingkungan terdekatnya melarang.
"Karena itu, sekali lagi ini pengingat buat kami untuk menggalakkan lagi sosialisasi kepada masyarakat, kepada orang tua," ujar Angga.
Baca juga: Truk Pengangkut Saus Ditabrak di Jalan Lingkar Salatiga, Jalan Jadi Merah dan 1 Orang Tewas
Selain orangtua, jelasnya, pihak sekolah juga seharusnya dapat berpartisipasi mencegah anak di bawah umur mengemudikan kendaraan bermotor.
"Salah satu syarat mendapatkan SIM C adalah berusia 17 tahun. Berarti usia di bawah itu secara perundang-undangan memang dianggap belum waktunya mengemudikan kendaraan bermotor," ujarnya.
Sementara dari pihak kepolisian, jelas Angga, selain melakukan edukasi keselamatan berkendara juga melakukan penindakan tegas di jalan.
"Kita tindak tegas jika mendapati anak di bawah umur membawa kendaraan bermotor. Kita tilang," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.