MAGETAN, KOMPAS.com – Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Magetan, Jawa Timur, mengembangkan teknologi reproduksi ternak pasca-mewabahnya penyakit mulut dan kuku (PMK).
Salah satunya dengan menerapkan transfer embrio (TE) untuk meningkatkan mutu genetik sapi.
Kepala Dinas Peternakan dan Perikanan Kabupaten Magetan, Nur Haryani mengatakan, metode TE memanfaatkan bibit jantan dan betina unggul sehingga anak sapi yang lahir membawa sifat terbaik dari kedua induknya, meski dilahirkan oleh sapi betina lain sebagai resipien.
Baca juga: Sapi Mengamuk di Pasar Hewan Ambarawa Semarang, 3 Warung Rusak
“Dengan transfer embrio memanfaatkan bibit jantan dan betina unggul, sehingga diharapkan lahir keturunan dengan kualitas yang lebih baik,” ujarnya saat ditemui di kandang sapi milik Karno di Desa Sidomukti, Kecamatan Sidorejo, Rabu (3/9/2025).
Nur Haryani menambahkan, sejak 2023, Pemkab Magetan telah menjalin kerja sama dengan Balai Besar Embryo Transfer (BBET) Cipelang, Jawa Barat, untuk pengembangan program TE.
Saat itu, Dinas Peternakan mencoba TE pada tiga ekor sapi. Hasilnya, dua sapi berhasil melahirkan anak, sedangkan satu anak sapi mati saat proses kelahiran.
“Di tahun 2023, ada sekitar 16 resipien yang sudah di-TE, di mana ada tiga indukan, yang berhasil dua dan satu mati saat proses kelahiran,” imbuhnya.
Baca juga: Penantian 15 Tahun Tak Berujung, Warga Kampung Kandang Sapi Perbaiki Jalan Sendiri
Tahun berikutnya, petugas kembali mencoba proses transfer embrio pada 11 ekor sapi milik peternak. Namun, hanya sebagian yang berhasil. Tingkat keberhasilannya masih rendah karena banyak faktor yang memengaruhi.
“Dari 11 sapi yang kita proses TE hanya satu ini yang berhasil,” ucapnya.
Nur Haryani mengatakan, masih banyak kendala yang dihadapi di lapangan untuk memperbaiki kualitas ternak sapi di Magetan melalui pengembangkan program transfer embrio.
Sejumlah syarat seperti tidak semua sapi betina bisa dijadikan induk penerima embrio karena harus mempertimbangkan kondisi tubuh, siklus reproduksi, hingga kesehatannya harus benar-benar prima agar embrio bisa berkembang.
“Tim melakukan seleksi memilih sapi yang benar-benar siap agar embrao ini bisa bekembang. Tidak semua sapi kemudian bisa dilakuakn TE,” jelasnya.
Kendala kedua, menurut Nur Haryani, adalah masih tingginya biaya untuk membeli embrio.
Proses TE juga membutuhkan peralatan medis khusus dan tenaga ahli yang jumlahnya terbatas.
Hal ini membuat jangkauan program masih kecil dan belum bisa menyentuh seluruh peternak.