SURABAYA, KOMPAS.com - Penemuan hak guna bangunan (HGB) seluas 656 hektar di wilayah perairan Surabaya-Sidoarjo cukup mengejutkan. Pemanfaatan ruang laut ini dinilai dapat memicu dampak buruk pada lingkungan dan sosial di pesisir timur Surabaya.
HGB 656 hektar yang berada di wilayah timur Surabaya atau di Eco Wisata Mangrove tersebut terungkap melalui cuitan akun X @Thanthowy.
HGB 656 hektar itu terbagi menjadi tiga petak dengan masing-masing memiliki luas 7.342163°S, 112.844088°E; 7.355131°S, 112.840010°E; dan 7.354179°S, 112.841929°E.
Thanthowy Syamsyuddin yang juga seorang akademisi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, pesisir timur Surabaya selama ini dimanfaatkan untuk konservasi mangrove, perikanan, dan ekonomi maritim.
Baca juga: HGB 656 Hektar Ditemukan di Perairan Surabaya-Sidoarjo
Dia khawatir, temuan HGB itu membuat wilayah pesisir timur Surabaya beralih fungsi yang dapat menimbulkan masalah lingkungan dan sosial.
“Dampak lingkungan dan sosial akan jauh lebih besar daripada dampak ekonomi yang hanya dinikmati oleh segelintir orang atau kelompok tertentu,” tutur Thanthowy saat dikonfirmasi Kompas.com, Selasa (21/1/2025).
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) tersebut menjelaskan, dampak dari masifnya pembangunan kini telah dirasakan oleh masyarakat yang berada di wilayah pesisir Surabaya dan Sidoarjo.
“Di wilayah Merr, Gunungsari, terus Sedati Sidoarjo itu sudah kena banjir. Kalau hujan tinggi, buangannya sulit sehingga menggenang,” ucapnya.
Baca juga: Menteri KP Bersuara soal HGB 656 Hektare di Perairan Surabaya-Sidoarjo
Banjir di wilayah pesisir Surabaya dan Sidoarjo bukan hanya disebabkan curah hujan tinggi, melainkan juga banjir rob akibat pasang surut air laut.
“Apalagi ketika muaranya diblok oleh reklamasi, itu makin parah lagi saya melihatnya. Jadi isu lingkungan dan sosialnya sangat berdampak besar di sini,” jelasnya.
Thanthowy mengakui bahwa dirinya bukan ahli geologi atau engineering kelautan. Tetapi dia menegaskan bahwa HGB 656 hektar telah bertentangan dengan Putusan MK 85/PUU-XI/2013 dan UUD 1945.
Putusan MK tersebut secara tegas telah melarang adanya pemanfaatan ruang di wilayah perairan.
Kemudian, kembali dipertegas dengan aturan RTRW Perda Jatim Nomor 10 Tahun 2023 yang menerangkan bahwa area tersebut berfungsi untuk perikanan, bukan zona permukiman atau komersial.
“Itu sebenarnya area zonasi perikanan. Menurut saya memang ada yang tidak beres, seperti halnya di Tangerang itu,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang