JEMBER, KOMPAS.com– Jumantoro, petani asal Desa Arjasa Kabupaten Jember, Jawa Timur membagikan tomat secara gratis di Gedung DPRD Jember Senin (12/8/2024).
Selain itu, juga membagikan pada warga yang melintas di bundang DPRD Jember. Total tomat yang dibaikan sebagai 1,5 kwintal.
“Ini bentuk protes karena harga tomat anjlok, hanya Rp 200 sampai Rp 500 per kilogram di kalangan petani,” kata dia pada Kompas.com di lokasi.
Baca juga: Harga Pertamax Naik, Warga Serang: Pendapatan Tetap, Pengeluaran Terus Meningkat
Jumantoro datang membawa mobil pikap menuju DPRD Jember. Kemudian membagikan hasil panen tomat itu pada sejumlah anggota DPRD yang ada di kantor.
Setelah itu, ia menuju ke bundaran DPRD Jember. Warga yang melintas langsung berebut mengambil tomat tersebut.
“Kita bawa ke anggota DPRD biar mereka lebih peduli dengan nasib petani,” jelas dia.
Menurut dia, harga tomat tersebut tidak seimbang dengan biaya produksi yang dikeluarkan oleh petani. Bahkan petani merugi karena tidak bisa kembali modal.
Untuk mencapai biaya produksi, kata dia, harga tomat di kalangan petani harus mencapai di atas Rp 2.000 per kilogram.
Jumantoro yang juga menjabat sebagai ketua Asosiasi Petani Pangan Indonesia (APPI) Jawa Timur menyarankan agar petani agar menahan hasil panen terlebih dahulu.
“Yang masih bisa ditahan panennya ditahan dulu, tomat yang sudah merah dipanen, daripada dibuang disedekahkan saja pada warga,” jelas dia.
Ia mengaku harga tomat anjlok sudah sekitar dua minggu. Jumantoro berharap pemerintah peduli pada para petani dengan menerapkan harga standart pangan.
Sementara itu, salah satu anggota DPRD Jember, Tabroni yang menerima aksi petani tersebut mengatakan anjloknya harga tomat tersebut karena panen berlimpah. Sehingga permintaan dan penawaran tidak seimbang.
“Ketika banyaknya produk tomat di pasar karena panen berlimpah, maka harganya otomatis anjlok,” katanya.
Baca juga: Solidaritas di Balik Harga Sayur yang Anjlok Saat Panen, Ramai-ramai Borong dengan Harga Normal
Menurutnya, masalah ini kerap dihadapi oleh setiap musim. Untuk itu, pemerintah harus membuat senario untuk mengatasi hal tersebut.
“Ini komoditas holtikultura. Kalau beras atau jagung masih bisa pakai resi gudang. Berbeda dengan komiditas holtikulura yang cepat membusuk sehingga memerlukan penanganan berbeda," ungkapnya.
Untuk itu, dia meminta Dinas pertanian harus memikirkan solusi terkait masalah tersebut.
“Karena ini hal ini bisa terjadi pada panen selanjutnya,” ujar dia.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang