“Sayuran itu bisa mengubah rasa kuah, apalagi kalau dibungkus. Jadi saya kasih sesuai permintaan saja,” kata Amy Amabel.
Dalam sehari, ia bisa menyiapkan hingga 3–4 panci besar, masing-masing berisi 8 kilogram buntut sapi lokal. Tetapi jika ramai, totalnya mencapai 40 kilogram.
Dimana semua bumbu dasar masih menggunakan racikan pendahulunya, dengan telaten mencatat formula turun-temurun.
“Saya yang membumbui dan mengolah, karyawan membantu prosesnya,” sambungnya.
Saat ini selain Sop Buntut, varian menunya pun semakin kaya dengan adanya buntut goreng, buntut penyet dll sebagai inovasinya untuk mengembangkan menu tanpa menghilangkan karakter asli kuah beningnya.
Pelanggan Lama Kembali Setelah Melihat Media Sosial dan Rencana ke Depan
Hingga kini sebagian pelanggan dari generasi sebelumnya masih setia datang. Walaupun banyak juga yang sempat mengira warung Sop Buntut Pabean ini sudah “hilang”, setelah ia aktif di media sosial, mereka kembali bermunculan.
“Ada pelanggan yang tinggal di luar Surabaya sampai minta dikirim. Yang paling jauh Banjarmasin, dua hari lewat kapal,” ujar Amy Amabel.
"Pengiriman menggunakan metode frozen tanpa pengawet, karena keluarga saya juga makan sop ini, jadi jangan sampai dikasih pengawet,” imbuhnya.
Kini ia berharap suatu saat bisa membuka kembali cabang yang pernah tutup di lokasi yang lebih strategis. Tetapi ia sudah memastikan satu hal untuk tidak membuka cabang di mal lagi dan juga mempertimbangkan sistem franchise setelah banyak pembeli yang menyarankan.
“Intinya bagaimana kita berjuang agar usahanya semakin ngetop, bukan tambah tenggelam,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang