Ia mengatakan bahwa hilir adalah daerah yang menerima dampak paling besar dari kerusakan hulu dan kegagalan sistem DAS.
Sehingga, upaya di hilir perlu difokuskan pada perlindungan masyarakat dan infrastruktur.
Hepi menuturkan bahwa pemerintah harus memastikan normalisasi dan perbaikan kapasitas sungai, membangun sistem peringatan dini banjir dan longsor, serta menata permukiman agar tidak berada di jalur aliran debris.
“Relokasi menjadi opsi jika permukiman berada pada zona sangat berbahaya. Tanggul, kolam retensi, dan kanal kota dapat membantu mengurangi dampak limpasan,” tuturnya.
Baca juga: Usai Kirim Bantuan ke Sumatera, Pemkab Probolinggo Bersiaga Hadapi Bencana
Menurutnya, masyarakat juga perlu meningkatkan kesiapsiagaan melalui pelatihan evakuasi, pemahaman jalur evakuasi, serta kesiapan menghadapi peringatan dini.
Salah staunya dengan menggunakan Sistem Peringatan Dini (EWS). Yakni, rangkaian teknologi, data, prosedur, dan komunikasi yang dirancang untuk mendeteksi peningkatan risiko banjir atau longsor sejak dini, memberikan peringatan yang cepat dan akurat, serta memastikan masyarakat dapat melakukan tindakan penyelamatan sebelum bahaya datang.
“Upaya ini tidak menghentikan bencana, tetapi sangat mengurangi korban dan kerugian,” paparnya.
Baca juga: Pakar ITB: Tata Ruang Kunci Pencegahan Bencana Hidrometeorologi di Sumatera
Ia menerangkan, untuk melakukan mitigasi jangka panjang membutuhkan kerangka kebijakan yang kuat.
Pemerintah harus mengintegrasikan peta kerentanan bencana ke dalam RTRW dan RDTR sehingga kawasan hulu otomatis menjadi kawasan lindung yang tidak dapat dialihfungsikan.
Mulai dari izin perkebunan, tambang, dan pembangunan infrastruktur juga harus mengacu pada analisis risiko DAS, bukan hanya aspek ekonomi.
“Audit perizinan penting dilakukan untuk meninjau izin-izin yang berada di zona rawan. Penguatan pengawasan lapangan merupakan bagian penting dari tata kelola yang lebih baik,” jelasnya.
Tak hanya itu, masyarakat dapat mendukung kebijakan ini melalui keterlibatan dalam forum DAS, kelompok tani hutan, atau pengawasan berbasis komunitas.
“Sinergi kebijakan pusat serta daerah dan partisipasi masyarakat menjadi kunci keberhasilan mitigasi struktural,” ucapnya.
Sementara itu, solusi permanen untuk memutus siklus bencana banjir bandang dan longsor di Sumatera adalah menjadikan kawasan hulu sebagai Kawasan Konservasi berbasis Kerentanan Tinggi.
Ia mengungkapkan bahwa hulu merupakan wilayah paling menentukan dalam menjaga kestabilan Daerah Aliran Sungai (DAS). Sebab, hulu adalah tempat proses penyerapan air, pengaturan debit sungai, dan penguatan struktur tanah.
Kawasan dengan karakteristik lereng curam, tanah rapuh, tutupan hutan alami, serta fungsi hidrologi penting, seperti mata air, headwater, dan zona resapan, secara ekologis tidak layak dijadikan area perkebunan monokultur, tambang, atau lokasi pembukaan lahan baru.
“Oleh sebab itu, wilayah seperti ini wajib ditetapkan sebagai kawasan lindung dalam dokumen RTRW dan RDTR untuk memberikan perlindungan hukum yang jelas dan mengikat,” paparnya.
Dengan memasukkan kawasan hulu ke dalam peta kerentanan tinggi dan menjadikannya dasar hukum penataan ruang, maka pemerintah bukan hanya melindungi area sensitif, tetapi juga memulihkan fungsi DAS secara keseluruhan.
“Penyerapan air akan meningkat, aliran permukaan menurun, erosi bisa ditekan, dan kestabilan lereng kembali terjaga,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, langkah ini juga secara signifikan mengurangi risiko banjir bandang dan longsor, menurunkan biaya kerusakan, serta memastikan pembangunan ekonomi masyarakat tetap berkelanjutan.
“Pendekatan tata ruang berbasis kerentanan ini merupakan strategi paling efektif untuk menjaga keamanan ekologis Sumatra di era cuaca ekstrem dan perubahan iklim,” tutupnya.
Ulurkan tanganmu membantu korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Di situasi seperti ini, sekecil apa pun bentuk dukungan dapat menjadi harapan baru bagi para korban. Salurkan donasi kamu sekarang dengan klik di sini