MALANG, KOMPAS.com - Guru Besar Bidang Konservasi Tanah dan Air Universitas Brawijaya (UB) Malang, Prof Didik Suprayogo menilai banjir yang terjadi di Sumatera merupakan cermin dari krisisnya tata kelola lanskap.
Hilangnya buffer (penyangga) alami Daerah Aliran Sungai (DAS) akibat alih fungsi hutan, menurut Didik adalah salah satu faktor utama penyebab banjir bandang tersebut.
“Hutan yang dulu berfungsi sebagai penyangga ekologis, menyerap air, menahan erosi, dan mengatur aliran sungai, pelan-pelan digantikan oleh kawasan produksi, permukiman, dan berbagai bentuk pemanfaatan ruang yang mengejar kepentingan jangka pendek,” ungkapnya melalui pesan singkat, Jumat (5/12/2025).
Baca juga: Pakar ITB: Tata Ruang Kunci Pencegahan Bencana Hidrometeorologi di Sumatera
Sehingga, hutan yang seharusnya menjadi pengikat tanah pada saat hujan datang, kini hilang. Alhasil, air hujan tidak lagi meresap, tetapi langsung berlari sebagai limpasan permukaan.
“Dalam kondisi demikian, setiap hujan ekstrem dengan mudah berubah menjadi banjir bandang. Energi air tidak lagi diredam oleh akar, serasah, dan struktur tanah hutan. Sebaliknya, ia turun bak gelombang destruktif yang membawa lumpur, batu, dan sisa-sisa kerusakan dari hulu ke hilir,” bebernya.
Menurutnya, fenomena itu bukan kebetulan, melainkan konsekuensi dari hilangnya sistem penyangga ekologis yang dibangun secara alami selama ratusan tahun tetapi dihancurkan dalam hitungan dekade.
Baca juga: Update BNPB: Korban Tewas Banjir Sumatera Capai 867 Orang
“Hal ini menjadi bahasan pemerhati manajemen daerah aliran sungai setiap tahunnya, namun faktanya, pelaku perusakan sumberdaya hutan terus meraja lela tanpa terkendali,” jelasnya.
Di tengah kondisi hutan yang saat ini sudah rusak tersebut, Didik menyebut berdasarkan penelitian butuh setidaknya 10-15 tahun untuk memulihkan fungsi hidrologi hutan.
“Itu pun apabila rehabilitasi lahan dan reforestasi hutan berhasil,” tuturnya.
Didik merekomendasikan beberapa opsi jangka pendek dan jangka panjang yang diharapkan dapat dilakukan pemerintah untuk melakukan rehabilitasi hutan di Sumatera.
Pertama, kebijakan pemanfaat sumber daya lahan dan hutan untuk pembangunan secara konsisten sesuai dengan daya dukung lahan.
Kedua, pemetaan ulang pemanfaatan lahan dan hutan, baik di wilayah yang masih sesuai dengan daya dukung lahan maupun sudah tidak sesuai dengan daya dukung lahan
Ketiga, penegakan hukum yang konsisten bagi pelanggar kerusakan lahan dan hutan tanpa tebang pilih.
Keempat, mendorong peran pemeritah daerah untuk mengalokasikan anggaran (termasuk dana desa) dalam upaya rehabilitasi lahan dan hutan.
Kelima, kampanye dan pendampingan perubahan prilaku kerusakan lahan dan hutan dalam rangka pemulihan fungsi hidrologi lahan dan hutan.
Keenam, penguatan kelembagaan masyarakat melalui forum DAS, dalam rangka mencegah dan merehabilitasi lahan dan hutan.
Ketujuh, penerapan Konservasi tanah dan air dengan benar, spesifik dan tepat sasaran.
Kedelapan, ditetapkan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) baru di pemerintah daerah yang khusus memajamen lanskap.
“Sementara, langkah jangka panjangnya, harus konsisten merehabiltasi lahan dan hutan serta konservasi tanah dan air melalui pendekatan partisipatif. Kembangkan mekanisme jasa lingkungan, dan integrasi pembangunan dan penyehatan DAS secara konsiten,” jelasnya.
Ulurkan tanganmu membantu korban banjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Di situasi seperti ini, sekecil apa pun bentuk dukungan dapat menjadi harapan baru bagi para korban. Salurkan donasi kamu sekarang dengan klik di sini