SURABAYA, KOMPAS.com - “Pak, pisau cukur tiga dapat satu korek, sepuluh ribu saja,” kata seorang perempuan kepada setiap pengendara sepeda motor yang berhenti di Jalan Menganti atau laki-laki yang tengah nongkrong di warung pinggir jalan.
Perempuan yang tampak lincah bergerak itu bernama Prisma Wijayanti, 35 tahun, akrab dipanggil Risma.
Menariknya, ibu dari dua anak tersebut mengaku lulusan sarjana hukum dari Universitas Wijaya Putra.
Namun, Risma mengatakan, belum pernah bekerja sesuai dengan jurusan yang dipelajarinya sewaktu kuliah.
"Saya sarjana hukum, tapi sekarang ya saya kerja apa saja buat tutup kebutuhan rumah tangga,” katanya sambil tersenyum saat berbincang dengan Kompas.com, Jumat (5/12/2025).
Baca juga: Dulu Anak Panti Asuhan Kini Jadi Ibu bagi 10 Anak Asuh, Kisah Hidup Umi Fadilah
Risma menceritakan, dia pernah bekerja sebagai marketing di beberapa perusahaan dan bank saat masih kuliah. Setelah menikah, dia menjadi ibu rumah tangga.
Namun, Pandemi Covid-19 yang menghantam Indonesia pada tahun 2021, membuat Risma harus bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga.
Pasalnya, sang suami yang bekerja di Rumah Sakit (RS) Dr Soetomo berhenti bekerja karena khawatir anaknya yang masih kecil terpapar virus corona.
Menurut Risma, suaminya berganti profesi menjadi sopir taksi. Sedangkan dirinya mulai jadi pekerja borongan yang dikejar target.
"Pendapatan suami kadang cukup, kadang kurang. Kekurangannya ya aku. Demi anak,” ucapnya dengan suaranya bergetar lalu mengusap mata dengan ujung hijabnya.
Namun, menjadi pekerja borongan tidak mudah bagi Risma. Dia kerap pulang malam untuk memenuhi target.
Setelah satu tahun, Risma akhirnya memilih untuk berjualan pisau cukur dan korek api secara mandiri dengan modal kecil dari agen.
Baca juga: 3 Generasi Penjaga Rasa, Kisah Nasi Cumi Ibu Atun di Pasar Atom Surabaya
Berjualan pisau cukur dan korek api bukanlah hal mudah karena penghasilannya tidak menentu. Tetapi, Risma tidak menyerah, dia selalu mengingat kedua anaknya di rumah.
Tidak sedikit pengendara yang ditawari pisau cukur menggeleng atau hanya tersenyum kecil. Belum lagi, dia harus berjuang melawan asap kendaraan dan teriknya matahari Surabaya saat siang hari.
“Namanya kerja, Mbak, kadang ramai, kadang sepi," ujar Risma dengan raut wajah tenang.
“Kadang aku bawa pulang Rp 150.000. Tapi, kemarin cuma Rp 65.000. Jalan dua jam rasanya nangis, Mbak," katanya lagi pelan.
Namun, perasaan sedih kadang juga menghampirinya saat pisau cukur dan korek yang dibawanya masih banyak.
“Kalau sepi itu rasanya capek sekali, campur sedih. Tapi ya disyukuri. Rezeki kan beda-beda.” ujarnya berusaha menenangkan diri sendiri.
Risma menceritakan, dia berangkat berjualan setelah mengantar dua anaknya yang berusia 7 dan 6 tahun ke sekolah.
Selesai memasak dan membereskan rumah, dia diantarkan oleh suami dari Made Barat menuju area Lakarsantri, titik yang dianggap paling “aman” dari persaingan pedagang keliling lain.
Pukul 11 siang, dia biasanya mulai menawarkan barang yang sama setiap hari.
Risma bekerja rata-rata tiga jam per hari. Setelah itu, dia pulang sebelum anak-anak kembali dari sekolah.
Kemudian, sore hingga malam hari, di habiskan untuk mendampingi kedua anaknya belajar, bermain, atau sekadar duduk bersama.
“Kalau lihat senyum mereka, capekku rasanya langsung hilang, Mbak. Sumber kekuatanku ya anak. Enggak ada yang lain," katanya terdiam sejenak.
“Kadang pengen nyerah. Tapi demi anak harus kuat. Mereka itu yang bikin aku jalan terus.” ujar Risma melanjutkan dengan mata yang mulai berkaca-kaca
Baca juga: Kisah Ibu Kepsek Nurfitriah, Tempuh Perjalanan 60 Km ke Sekolah hingga Jualan Online
Meski sudah terbiasa, menawarkan barang dagangan kepada laki-laki di pinggir jalan bukan pekerjaan yang mudah bagi Risma.
Dia harus pintar membawa diri sekaligus membela diri dengan banyaknya karakter pria yang ditemui di jalan.
“Ada yang sopan, tapi ada yang tidak sopan sama sekali. Ada yang bilang, ‘Aku enggak mau beli barangmu, aku mau beli kamu'. Ya aku jawab, ‘Yang dijual barangnya, Pak. Orangnya nggak dijual'," cerita Risma
Dia tersenyum kecil mengingatnya, tetapi sorot matanya menunjukkan bahwa pengalaman itu jauh dari menyenangkan.
“Kalau enggak berani nawarin ke cowok-cowok, ya nggak bakal laku. Tantangannya itu," ujarnya.
Baca juga: Erupsi Gunung Ibu di Halmahera Barat Tak Berdampak pada Aktivitas Warga
Oleh karena itu, Risma mengaku, memiliki keinginan berhenti berjualan keliling jika mendapatkan kesempatan.
Dia ingin kembali tinggal di rumah dan mendedikasikan waktunya untuk mengurus kedua anaknya.
“Kalau suami bisa cukupin semua kebutuhan, ya aku pengen jadi ibu rumah tangga saja," ujarnya
Disamping itu, teman-temannya sering menyarankannya membuka warung makan karena masakannya dianggap enak.
“Warung itu butuh modal dobel. Kalau aku fokus di warung, takut enggak jalan. Belum ada modal, belum ada tempat yang strategis. Rezekinya belum sampai situ.” katanya.
Sebelum beranjak pulang untuk menjemput anaknya, Risma sempat memberikan pesan sederhana yang diharapkannya bisa membantu perempuan lain dari pengalamannya.
“Jangan buru-buru nikah. Selesaikan kuliah, kerja yang benar, cari suami yang tanggung jawab. Kalau enggak, nanti nyesel. Serius.” ujar Risma dengan suara mantap dan penuh keyakinan.
Baca juga: Cerita Rosita Menjalani Banyak Peran sebagai Ibu Tunggal di Usia Muda
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang