MALANG, KOMPAS.com — “Yes, big surprise in Gampingan! More 1 million people. I walked 8-9 hours. So, I’m happy.”
Kalimat itu meluncur dari Miskha, kreator konten asal Rusia yang oleh warga dijuluki “duta sound horeg” kepada Kompas.com.
Dengan wajah semringah, ia mengaku takjub menyaksikan karnaval All In Gampingan 2025. Sebagai bukti bahwa budaya bisa berevolusi tanpa kehilangan akar.
Dari arak-arakan tradisional, parade kostum, hingga dentuman musik modern sound horeg, semuanya menyatu dalam satu semangat, yaitu kebersamaan.
Selama tiga hari berturut-turut, ia ikut hanyut dalam keramaian desa yang terletak di Kecamatan Pagak, Kabupaten Malang.
Baca juga: Kru Panggung Festival Sound Horeg di Pasuruan Tersetrum, Korban Tak Sadarkan Diri
Tidak hanya Miskha, musisi dan DJ asal Jakarta, DJ Bravy, juga hadir langsung di lokasi. Ia datang memenuhi undangan salah satu penggerak komunitas sound horeg, David Blizzard, saat check sound, Jumat (10/10/2025) malam.
“Ini pertama kali aku datang ke persiapan karnaval sound horeg. Ternyata seru banget dan teman-teman ramah-ramah di sini. Semoga teman-teman bisa terhibur. Saya excited datang ke sini dari Malang, ingin melihat sound di Indonesia seperti apa,” tuturnya.
Suara dentuman bass memang bukan hal asing di Desa Gampingan, Kabupaten Malang. Acara ini sudah menjadi tradisi sejak tahun 2021 dan kini berkembang menjadi karnaval besar.
Acara ini mampu menarik wisatawan dari berbagai kota, seperti Kediri, Jember, dan Banyuwangi. Bahkan, pengunjung mancanegara turut datang menyaksikan.
Suasana karnaval yang terselenggara setiap dua tahunan All in Gampingan menggunakan sound horeg yang berlangsung di Pagak, Kabupaten Malang, Jawa Timur, Sabtu (11/10/2025) malam.Puncak acara digelar Sabtu (11/10/2025) malam dan selesai pada Minggu (12/10/2025) pagi yang menampilkan parade 20 truk Fuso sound system dari 20 peserta dari tiga dusun tersebut, yaitu Bumirejo, Krajan, dan Dempok, yang memamerkan tata suara dan pencahayaan megah sepanjang jalan utama desa.
“Yang ikut banyak dari anak sekolah sampai pemuda-pemuda desa sini. Ada yang ikut dua kali, siang karnaval pendidikan, malam ikut desa,” ujar Zahrotul, salah seorang pemuda dari Dempok.
Seperti diketahui, pada acara puncak, jalan utama berubah menjadi panggung terbuka.
Dentuman musik berpadu dengan sorotan lampu dan teriakan penonton yang saling bersahutan. Bagi warga, suara keras bukan gangguan, melainkan nyawa acara itu sendiri.
Baca juga: Diungkap, Cerita di Balik Perusakan Pagar Jembatan demi Sound Horeg di Jember
Meskipun dengan segala pro dan kontra, sound horeg di Gampingan telah menjelma menjadi bagian dari identitas masyarakat desa.
Bukan sekadar tradisi, melainkan cerminan cara baru warga desa mengekspresikan diri dengan meriah, tetapi tetap hangat dan penuh kebersamaan.
“Kalau karnaval tidak ada sound-nya tidak enak, kita peserta karnaval jadi kurang menarik. Memang ada yang bilang mengganggu, tapi bagi orang sini lumrah saja, malah senang,” ujar perempuan yang bekerja di bidang kontraktor itu.
“Kita sebagai orang lokal tetap akan mengadakan kegiatan ini. Kalau tidak suka, ya tidak apa-apa. Ini daerah kita sendiri,” sambungnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang