JEMBER, KOMPAS.com - Wakil Bupati Jember Djoko Susanto membuat aduan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena merasa diabaikan dan tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan oleh Bupati Jember Muhammad Fawait.
Dalam surat tertanggal 4 September 2025 yang dilayangkan itu juga tertulis bahwa selama enam bulan menjabat sebagai Wabup, Djoko tidak dilibatkan dalam agenda-agenda resmi Pemkab.
Djoko menyampaikan, surat yang dibuatnya itu merupakan tindak lanjut dari audiensi dengan KPK di Gedung Merah Putih beberapa bulan lalu.
"KPK menyampaikan pada saya bahwa tugas Wabup lebih banyak di bidang pengawasan," katanya, Senin (22/9/2025).
Baca juga: Fraksi PKB Kecam Wabup Jember 11 Kali Absen Paripurna, Djoko: Ngomong Pakai Hatilah
Menurutnya, apa yang sudah dilakukan sesuai dengan fungsinya dalam hal pengawasan.
Ia menyebut, menempuh cara-cara kedinasan melalui surat untuk meminta KPK memberikan pembinaan dan pengawasan khusus dalam penerapan prinsip tata kelola pemerintahan yang bersih kepada Pemkab Jember.
Ia juga meneruskan surat permohonan serupa kepada Kementerian Dalam Negeri dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.
"Tapi saya juga tidak akan menyesal walaupun permohonan saya kepada KPK untuk melakukan pembinaan itu berubah menjadi penindakan," kata Djoko.
Ada enam poin dalam surat yang dilayangkan Djoko kepada KPK.
"Adapun hal-hal yang kami adukan yang pertama adalah masalah inkonsistensi kebijakan yang ditandai dengan dikeluarkannya keputusan Bupati nomor 100 tentang Tim Pengarah Percepatan Pembangunan Daerah (TP3D)," katanya.
Baca juga: Bupati Jember Imbau Jajarannya untuk Berpenampilan Sederhana
Djoko menilai, kebijakan itu tidak punya dasar hukum, justru tidak sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2025 tentang efisiensi belanja.
Keputusan itu pun, menurutnya, tumpang tindih dengan tugas dan fungsi wakil bupati yang juga ikut memberikan saran kepada bupati.
"Yang kedua, tidak berjalannya meritokrasi kepegawaian, tentu berpotensi rendahnya profesionalitas ASN," kata dia.
Hal itu tecermin pada ketidaktepatan penempatan ASN eselon 3 yang merangkap pelaksana tanggung jawab (plt) yang seharusnya dijabat eselon 2.
Selain itu, lemahnya independensi dan profesionalitas inspektorat, menurutnya, juga membuat miris.