YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Banjir bandang yang melanda Bali dan Nusa Tenggara Timur (NTT) baru-baru ini tidak hanya menyebabkan kerusakan signifikan pada bangunan rumah warga, tetapi juga mengakibatkan jatuhnya korban jiwa.
Pakar perencanaan kota dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Prof Bakti Setiawan dan Guru Besar Bidang Geomorfologi Lingkungan Fakultas Geografi UGM, Prof Djati Mardiatno, memberikan pandangan mereka terkait bencana ini.
Bakti Setiawan menjelaskan bahwa banjir tidak hanya disebabkan faktor alam, tetapi juga aktivitas manusia.
Baca juga: Rusak akibat Banjir, Koster Sebut Menkes Akan Bantu Alkes RSUD Wangaya
"Ada faktor eksternal berupa perubahan iklim, tetapi ada juga faktor internal yaitu tata ruang dan perkembangan kota yang tidak terkontrol."
"Jadi tantangan utamanya adalah penataan ruang dan kota yang lemah dalam mengantisipasi risiko bencana," ujarnya dalam keterangan tertulis Humas UGM, Rabu (17/09/2025).
Ia menambahkan bahwa solusi ke depan harus mencakup tata ruang dan pengendalian perkembangan kota yang berbasis pada pengurangan risiko bencana.
"Peningkatan ketangguhan warga melalui penguatan social capital, baik secara struktural maupun kultural, perlu dilakukan agar masyarakat lebih siap menghadapi bencana," ungkapnya.
Sementara itu, Djati Mardiatno mengungkapkan bahwa banjir bandang di Bali dan NTT dipicu kombinasi hujan ekstrem dan berkurangnya hutan.
"Berkurangnya hutan yang berubah menjadi area terbangun membuat air hujan lebih banyak menjadi aliran permukaan daripada masuk ke dalam tanah. Aliran permukaan yang besar inilah yang dapat memicu banjir bandang," ucapnya.
Djati menekankan bahwa tantangan terbesar dalam penanganan banjir bandang adalah luasnya wilayah terdampak serta banyaknya objek vital di perkotaan yang rentan.
Ia menekankan perlunya solusi jangka panjang berupa penataan tata ruang.
Banjir bandang melanda wilayah Kecamatan Mauponggo, Kabupaten Nagekeo, NTT, pada Senin (8/9/2025)."Kita harus memperbanyak ruang terbuka hijau agar air hujan bisa meresap ke tanah, membatasi konversi lahan hutan, serta memastikan sungai tidak tersumbat sampah agar saluran air berfungsi optimal," urainya.
Kedua pakar sepakat bahwa pemerintah, akademisi, dan masyarakat harus bekerja sama untuk menghadapi cuaca ekstrem yang berpotensi menimbulkan bencana banjir.
Pemerintah daerah diharapkan menyiapkan rencana kontingensi dan menegakkan tata ruang, sementara akademisi berkontribusi melalui riset, pemetaan, dan sosialisasi.
Baca juga: Banjir Bandang Nagekeo NTT Akibatkan 6 Korban Tewas, BNPB: 3 Masih Hilang
Di sisi lain, masyarakat diharapkan meningkatkan kesiapsiagaan dengan langkah-langkah sederhana seperti membuat sumur resapan, biopori, menjaga ruang terbuka hijau, serta disiplin tidak membuang sampah ke sungai.
Dengan tata ruang yang terkendali, kebijakan berbasis mitigasi, dan komunitas yang tangguh, risiko bencana hidrometeorologi seperti banjir bandang dapat ditekan.
Sebab, bencana bukan hanya persoalan alam, melainkan juga cerminan bagaimana manusia mengelola ruang hidupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang