SURABAYA, KOMPAS.com – Api yang melahap sisi barat Gedung Negara Grahadi, Sabtu (30/8/2025) malam menyisakan luka mendalam bagi warga Surabaya, Jawa Timur.
Bangunan bersejarah yang berdiri sejak abad ke-18 itu bukan sekadar gedung pemerintahan, melainkan saksi perjalanan panjang Kota Pahlawan.
Kebakaran ini tidak hanya menggoreskan kerusakan fisik, tetapi juga melukai hati para pecinta sejarah dan pegiat pelestarian cagar budaya.
Baca juga: Khofifah: Perbaikan Gedung Grahadi Gandeng Sejarawan dan Pakar Cagar Budaya
Dosen Arsitektur Universitas Kristen Petra, Dr. Timoticin Kwanda, B.Sc., MRP., PhD., yang dikenal sebagai ahli konservasi arsitektur, menaruh keprihatinan mendalam atas insiden ini.
Menurut dia, Gedung Negara Grahadi adalah representasi kekayaan sejarah Surabaya.
Dibangun dengan perpaduan gaya neo-klasik (Empire Style) dan sentuhan arsitektur Jawa, Grahadi bukan hanya cantik secara visual, tetapi juga menyimpan nilai identitas yang penting bagi bangsa.
“Oleh karena itu, sangat penting bagi kita untuk menyebarkan pemahaman kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi gedung cagar budaya ini sebagai aset berharga milik bangsa,” ujar dia.
Baca juga: Bunker Tegalsari, Jejak Perang Dunia II Ikut Rusak, Cagar Budaya di Surabaya Selain Gedung Grahadi
Suasana di depan Gedung Negara Grahadi Surabaya, Jawa Timur usai aksi massa yang berakhir dengan pembakaran sisi barat sehari sebelumnya, Minggu (31/8/2025) malam.Ia juga mengingatkan soal Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, Pasal 101, yang menyebutkan hukuman pidana hingga 5 tahun penjara atau denda Rp 1,5 miliar bagi perusak cagar budaya.
“Kerusakan yang disengaja terhadap cagar budaya merupakan tindakan kriminal yang memiliki konsekuensi hukum serius,” tegas dia.
Baca juga: Polda Jatim Dalami Sosok Pria Berjaket Ojol yang Viral Saat Pembakaran Gedung Grahadi
Meski insiden ini meninggalkan duka, langkah pemulihan tetap harus segera dilakukan, ia menekankan pentingnya proses restorasi yang hati-hati.
“Sebagai bagian dari tindakan konservasi, restorasi dimulai dengan dokumentasi kerusakan bangunan. Berdasarkan dokumentasi itu, kemudian dilakukan perbaikan secara hati-hati,” imbuh dia.
Prinsip minimum intervensi menjadi pegangan utama. Bagian bangunan yang masih bisa dipertahankan harus dijaga keasliannya.
Sementara material baru, meski menggantikan, harus dibuat berbeda agar publik tetap dapat membedakan mana yang asli dan mana yang hasil restorasi.
Pendekatan ini, menurut dia, memastikan nilai sejarah bangunan tidak hilang dalam proses perbaikan.
Atas kejadian ini seakan menjadi pengingat keras warisan sejarah bisa hilang dalam sekejap jika tidak dijaga bersama.
Sebab, Gedung Grahadi bukan hanya milik Pemerintah, tetapi juga milik setiap warga Surabaya, bahkan Indonesia yang kini membutuhkan kepedulian kita semua agar tidak hilang ditelan zaman.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang