Gerakan barunya bernama "Diam-diam Baca". Idenya adalah membaca bersama-sama meski terpisah oleh ruang.
Selama 30 menit, mereka membaca bersama-sama memanfaatkan aplikasi zoom meeting dan dilanjutkan dengan diskusi tentang apa yang telah dibaca.
"Program onlinenya itu kita punya namanya diam-diam baca," ujarnya.
"Itu kita baca senyap 30 menit tanpa distraksi gadget, tanpa ke toilet, kita timer bareng-bareng di Zoom gitu dan harus on cam, semua baca buku 30 menit, terus setelah baca kita sharing-sharing, tadi bacaannya gimana, terus rekomendasi bacaan, diskusi buku."
"Itu tiap bulan, anggotanya sudah banyak sih, dari banyak kota gak hanya Lumajang. Di grup WA sudah 300-an orang," lanjutnya.
Selain diam-diam baca, ada juga program yang diinisiasi memanfaatkan kemajuan teknologi yakni "Klub 5 Pagi".
Idenya mengajak orang untuk menyempatkan membaca buku meski hanya 5 menit setiap hari.
"Kita juga ada klub 5 pagi. Baca buku tiap jam 5 pagi selama 5 menit, terus progresnya diupload ke Instagram story. Itu juga pesertanya banyak, enggak hanya dari Lumajang aja, tapi dari banyak kota di Indonesia," tuturnya.
Tak hanya membaca, Rizka dan anggota komunitas Majang Buku juga punya keinginan suatu saat bisa membuat buku sendiri.
Ide ini telah dirintis dengan membuat program Teralis atau temu, bicara tulis. Program ini mengajak para penikmat buku untuk juga belajar menulis.
Baca juga: Viral, Mahasiswi UGM Kena Dena Rp 5 Juta karena Lupa Kembalikan Buku ke Perpustakaan
Tujuannya, suatu saat para pembaca buku ini tidak hanya membaca tapi bisa menyajikan tulisan yang bisa dibaca orang lain.
"Di situ kita free writing. Ada materinya dulu, misalnya tentang apa, ada materi dari mentornya dulu 15 menitan, baru setelah itu kita nulis dikasih temanya, terus saling diskusi hasil tulisan. Tujuannya ya nanti kepengen bikin buku antologi," jelasnya.
Majang Buku juga tengah menyiapkan program tahunan yang diberi nama Parkir Pikir.
Rencananya, program ini akan digelar pada Oktober 2025, bersamaan dengan peringatan bulan bahasa dan hari kesehatan mental sedunia.
Konsepnya seperti kelana rasa, mengajak peserta berpetualang sambil menyelesaikan misi-misi yang dirancang khusus.
Misi-misi itu bukan sekadar teka-teki, melainkan jembatan yang menghubungkan kita dengan dunia buku dan kedalaman diri sendiri.
Di setiap pos, peserta akan menemukan tugas-tugas literasi yang mengasah kreativitas dan pemahaman, serta misi psikologi yang dirancang untuk membuka ruang refleksi.
Tujuannya sederhana, menjadikan membaca sebagai terapi, dan memahami diri sebagai bagian dari proses literasi.
Baca juga: Perpustakaan Jalanan Jakarta: Semua Orang Berhak Membaca
"Oktober itu selain bulan bahasa ada hari kesehatan mental se-dunia, jadi kita rayain dengan kelana rasa."