SUMENEP, KOMPAS.com - Suasana di ruang tunggu Terminal Tipe A Arya Wiraraja Sumenep, Jawa Timur, pada siang hari, 15 Mei 2025, terasa lengang.
Puluhan kursi panjang berwarna silver yang biasanya dipenuhi penumpang tampak kosong.
Namun, di salah satu pojok, Iwan Budiarto (56) duduk tenang, mengamati puluhan bis yang terparkir di terminal.
Iwan, yang akrab disapa Engkong, berasal dari Kota Malang dan telah menetap di Kabupaten Sumenep selama 8 tahun.
Pengalamannya sebagai sopir bis tidak perlu diragukan.
Dia telah menguasai rute-rute di Jawa dan Bali, bahkan pernah melintasi jalan di Sumatera dan Nusa Tenggara Barat.
Baca juga: Cerita Mulyana, Sopir Bus AKAP Dipalak Preman, Pintu Digedor-gedor sampai Diancam Digembosi
Saat ditemui, wajah Iwan tampak bersih, meskipun garis halus di sekitar mata, dahi, dan pipinya menunjukkan bahwa usianya tidak lagi muda.
"Saya 35 tahun menjadi sopir, Mas. Saat itu saya menjadi sopir paling muda, paling bujang di Bis Lorena," ungkap Iwan memulai ceritanya.
"Usia saya ketika itu masih 21 tahun, sekitar tahun 1989-an saya mulai menyetir," tambahnya.
Iwan memperoleh keterampilan menyetir dari ayahnya, yang pada awal tahun 1980-an menjadi sopir bis Maju Kembang jurusan Surabaya - Jakarta.
Selama puluhan tahun berkarier di jalan raya, salah satu hal yang disyukuri Iwan adalah kemampuannya lepas dari jerat narkoba.
Bagi seorang sopir, mengonsumsi narkoba sering kali dipandang sebagai cara untuk menjaga stamina.
"Biar fit aja stamina kita. Siang malam kan rutenya jauh. Kalau fungsi yang lain tidak ada, bahkan merugikan juga sebenarnya," ujar Iwan.
Baca juga: Sopir Truk Ini Mengaku Diadang dan Dianiaya Preman di Bandar Lampung
Lingkungan kerja yang menantang, menurut Iwan, turut berkontribusi pada keterjerumusan dirinya dalam penggunaan narkoba.
Iwan mengungkapkan bahwa dia sering kali berada di belakang setir bis selama minimal enam bulan dalam sekali kerja sebelum bisa menikmati libur sebulan bersama keluarga.