Puluhan kursi panjang berwarna silver yang biasanya dipenuhi penumpang tampak kosong.
Namun, di salah satu pojok, Iwan Budiarto (56) duduk tenang, mengamati puluhan bis yang terparkir di terminal.
Iwan, yang akrab disapa Engkong, berasal dari Kota Malang dan telah menetap di Kabupaten Sumenep selama 8 tahun.
Pengalamannya sebagai sopir bis tidak perlu diragukan.
Dia telah menguasai rute-rute di Jawa dan Bali, bahkan pernah melintasi jalan di Sumatera dan Nusa Tenggara Barat.
Saat ditemui, wajah Iwan tampak bersih, meskipun garis halus di sekitar mata, dahi, dan pipinya menunjukkan bahwa usianya tidak lagi muda.
"Saya 35 tahun menjadi sopir, Mas. Saat itu saya menjadi sopir paling muda, paling bujang di Bis Lorena," ungkap Iwan memulai ceritanya.
"Usia saya ketika itu masih 21 tahun, sekitar tahun 1989-an saya mulai menyetir," tambahnya.
Iwan memperoleh keterampilan menyetir dari ayahnya, yang pada awal tahun 1980-an menjadi sopir bis Maju Kembang jurusan Surabaya - Jakarta.
Selama puluhan tahun berkarier di jalan raya, salah satu hal yang disyukuri Iwan adalah kemampuannya lepas dari jerat narkoba.
Bagi seorang sopir, mengonsumsi narkoba sering kali dipandang sebagai cara untuk menjaga stamina.
"Biar fit aja stamina kita. Siang malam kan rutenya jauh. Kalau fungsi yang lain tidak ada, bahkan merugikan juga sebenarnya," ujar Iwan.
Lingkungan kerja yang menantang, menurut Iwan, turut berkontribusi pada keterjerumusan dirinya dalam penggunaan narkoba.
Iwan mengungkapkan bahwa dia sering kali berada di belakang setir bis selama minimal enam bulan dalam sekali kerja sebelum bisa menikmati libur sebulan bersama keluarga.
"Pertarungannya dengan diri sendiri berat sekali, Mas. Tidak cukup hanya mengandalkan rehab (narkoba). Kalau masih di hati belum mantap untuk berhenti, akan gagal, akan terjerumus lagi," ungkapnya.
Sebagai ayah dari tiga anak, Iwan menceritakan upayanya untuk melepaskan diri dari jerat narkoba dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan tidak membayar barang yang diterimanya dari penyuplai.
"Saya ambil dulu, satu gram misalnya begitu, sudah niat tidak saya bayar. Dari situ, sudah terputus semua jaringan kita. Saat tidak bayar, mau nyari barang ke mana-mana kan sudah susah," urainya.
Iwan juga mengisahkan bagaimana dirinya lulus ujian karena tak menggunakan narkoba yang diambil dari teman.
"Terakhir saya ambil setengah gram, tak taruh di depan, setiap hari tarung sama diri sendiri. Selama satu minggu saya merasa sudah lulus. Tidak pakai."
"Tak kasihkan teman, saya meminta dia konsumsi depan saya, saya lihat saja, terus pikiran saya, oh saya sudah pernah. Paling gitu saja. Alhamdulillah, sampai sekarang berhenti. Juga karena usia," tuturnya.
Kini, pada usia yang hampir menyentuh kepala enam, Iwan memilih untuk menjadi sopir freelance.
Selain karena penglihatannya yang tidak setajam dulu, dia juga harus bertahan dengan penyakit kencing manis yang dideritanya.
"Kadang saya diajak nyopiri ke Surabaya, Malang, kadang antar bisa ke Kalianget, untuk dicuci, ke parkir. Seputar itu saja, Mas," ungkapnya.
https://surabaya.kompas.com/read/2025/05/16/085631178/kisah-sopir-bis-yang-berhasil-lepas-dari-jerat-narkoba