BANGKALAN, KOMPAS.com - Menara setinggi 25 meter menjulang di tengah kota Bangkalan, Jawa Timur. Bangunan itu sekaligus menjadi saksi bisu adanya pencurian hasil bumi warga Madura oleh penjajah Belanda.
Menara dengan 12 tiang penyangga itu dibangun pada tahun 1927 saat Bangkalan masih masuk dalam Keresidenan Madura Barat yang dipimpin oleh Residen Johannes Gerardus Van Heijst atau dikenal dengan J.G. Van Heijst.
Salah satu sejarawan Bangkalan, Hidrochin Sabarudin, menceritakan bahwa menara yang berlokasi di Jalan Jaksa Agung Suprapto itu semula dibangun untuk penampungan air bersih yang nantinya disalurkan ke masyarakat di Bangkalan.
Baca juga: Baru Keluar Penjara, Pemuda di Bangkalan Ditangkap Lagi karena Curi Motor
Air itu diambil dari salah satu sumber air yang berada di Desa Benangkah, Kecamatan Burneh, Kabupaten Bangkalan, yang dinamai Sumber Potjong.
Air dari Sumber Potjong itu lalu dialirkan dan ditampung di atas menara.
Baca juga: Benteng Erfprins, Saksi Bisu Kekuasaan Belanda di Bangkalan, Kini Tak Terawat
Namun, setelah bangunan menara itu jadi, air bersih tidak bisa dinikmati oleh masyarakat, melainkan hanya digunakan oleh kalangan tertentu, terutama oleh pasukan Belanda.
"Jadi itu hanya digunakan oleh orang Belanda, pejabat, dan juga keraton di Bangkalan saja. Masyarakat tidak mendapat aliran air bersih," ucapnya, Selasa (13/5/2025).
Selain digunakan sebagai tempat penyaluran air bersih, menara bersejarah itu memiliki sirene yang berfungsi sampai saat ini.
Dahulu, sirene itu dibunyikan saat petang, jelang waktu maghrib tiba.
"Kalau sudah sirene berbunyi, masyarakat disuruh masuk semua ke dalam rumah. Tidak boleh ada yang keluar," tuturnya.
Saat masyarakat sudah masuk ke dalam rumah, pasukan Belanda akan membawa hasil bumi dari Madura untuk dibawa ke pelabuhan.
Berbagai palawija dari Madura diambil oleh para penjajah.
"Di Madura ini kaya akan hasil taninya, terutama jagung. Jadi penjajah itu mengambil palawija dari sini," ungkapnya.