SURABAYA, KOMPAS.com - Kebijakan tarif impor yang diterapkan oleh Amerika Serikat, dikenal dengan sebutan tarif Trump, kembali menjadi sorotan dunia.
Presiden AS, Donald Trump, baru-baru ini menetapkan tarif baru terhadap sejumlah negara, termasuk Indonesia.
Meskipun tarif sebesar 32 persen yang sebelumnya dikenakan pada Indonesia kini ditangguhkan menjadi 10 persen selama 90 hari, ketidakpastian masih membayangi pelaku usaha dan pasar ekspor nasional.
Dampak dari situasi ini tidak dapat dihindari.
Namun, di balik tantangan tersebut, muncul peluang bagi Indonesia untuk mengukuhkan posisinya dalam peta perdagangan global.
Baca juga: Eddy Soeparno Diskusi Bareng Mahasiswa di Beijing, Ditanya Sikap Indonesia soal Tarif Impor Trump
Cynthia Yohanna Kartikasari, M SE, dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya (Ubaya), menilai situasi ini sebagai momen untuk mengubah arah dan membuka pasar baru.
Menurutnya, ketergantungan terhadap satu negara tujuan ekspor sebaiknya dikurangi, terutama jika AS tetap mempertahankan tarif tinggi.
“Proporsi barang Indonesia ke Amerika itu berkisar 10%. Artinya, kita masih punya 90% peluang pasar lainnya. Kita masih bisa kerjakan secara optimal."
"Kalau kata Menkeu Sri Mulyani, second opinion. Misalnya dengan China atau negara di ASEAN lainnya,” ujar Cynthia kepada Kompas.com.
Ia menambahkan bahwa di tengah ketidakpastian ini, Indonesia dapat memperkuat ekspor komoditas unggulannya.
Kopi dan Crude Palm Oil (CPO) menjadi dua di antara banyak potensi yang bisa terus dikembangkan.
Cynthia Yohanna Kartikasari, M.SE., dosen Fakultas Bisnis dan Ekonomika Universitas Surabaya (Ubaya).“Penopang utama ekspor kita memang masih di sawit. Namun kita bisa perkuat ekspor kita di bidang lain."
"Misalkan kopi yang semua orang sudah tahu kualitasnya bagus di internasional, serta produk organik yang saat ini permintaannya tinggi di negara Eropa dan Jepang,” tambahnya.
Lebih lanjut, Cynthia juga menyoroti kemungkinan Indonesia mengambil peran yang lebih besar dalam rantai pasok global, menggantikan posisi China, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasar Amerika Serikat.
“Misalnya, kita ambil raw material yang AS butuhkan dari China. Kita bisa impor komponen tersebut dan merakitnya di Indonesia dengan penyesuaian dari Made in China menjadi Made in Indonesia," tutur Cynthia.
Baca juga: Prabowo Tak Pasang Target Negosiasi Tarif Trump, yang Penting Turun