BANYUWANGI, KOMPAS.com - Cuaca Banyuwangi sedang tak bersahabat karena dilanda angin kencang dan hujan deras.
Meski demikian, Mohammad Fiki Susanto, seorang seniman tato, tetap fokus menyiapkan peralatannya untuk menyambut pelanggan dari Kecamatan Glenmore yang ingin melanjutkan proses pembuatan tato di kulitnya.
Di sebuah studio yang terletak di tepi Jalan Raya Sidomulyo, Dusun Sumberayu, Sumberberas, Kecamatan Muncar, Fiki menceritakan perjalanan kariernya dalam dunia seni tato.
“Saya tidak punya background pendidikan khusus. Otodidak. Cuma saya hobi gambar sejak SMK,” ungkap Fiki, pria berkacamata yang lahir pada tahun 1995.
Baca juga: Dodot, Seniman Tato yang Jalani Hobi dan Bisnis di Tengah Persepsi Buruk
Meskipun setelah menyelesaikan pendidikan di sebuah SMK di Kecamatan Tegaldlimo, ia merantau sebagai buruh migran di Malaysia. Hobinya tetap berkembang.
Selama merantau dari tahun 2013 hingga 2022, Fiki bekerja sebagai buruh las kontainer dan memutuskan untuk membuka studio tato di negeri jiran.
Usahanya berkembang pesat selama tujuh tahun. “Akhirnya pulang kampung karena diminta istri,” tambahnya.
Setelah kembali ke kampung halamannya, Fiki mempertimbangkan usaha yang tepat untuk dijalani.
Ia memutuskan untuk meneruskan studio tato yang sudah dibangunnya, meskipun harus menghadapi stigma negatif yang melekat pada profesinya di masyarakat, terutama di desa.
“Ada stigma yang bertato seram, preman, kriminal. Atau stigma bikin tato bisa dibayar pakai minuman keras,” ujar Fiki.
Fiki Susanto Seniman tato Banyuwangi menunjukkan alat tato di studionya, Minggu (9/2/2025). Meski demikian, ia bertekad melawan stigma tersebut dengan menghadirkan karya seni yang berkualitas dan menolak calon pelanggan yang mengonsumsi minuman keras.
“Kalau ada customer yang minum miras tidak saya terima. Saya berusaha seprofesional mungkin. Karena orang mabuk susah diomongi, konsentrasi kita buyar karena dia gerak terus, hasilnya jelek,” tegasnya.
Fiki juga terus mengembangkan kemampuannya dengan meningkatkan pengetahuan dan memperbarui peralatannya.
Ia kini menggunakan mesin rotary dan teknik gambar yang lebih presisi dengan bantuan thermal paper.
Baca juga: Teguh Iwanggin, Jatuh Bangun Memperkenalkan Seni Tato di Jayapura Papua
“Gambar juga tidak asal-asalan. Sekarang di tato selain seni juga ada ceritanya. Saya biasanya mendengarkan cerita dari orangnya dulu sebelum melukis,” tambahnya.
Setelah tiga tahun menjalankan studionya, Fiki kini mulai dikenal di berbagai penjuru Banyuwangi.
Masyarakat pun perlahan-lahan mengubah pandangan mereka terhadap tato, dari yang dianggap tabu menjadi sebuah karya seni.
“Tato dulu tidak sebagus sekarang. Sekarang bagus pede-pede aja. Kalau seram pun sebetulnya yang seram bukan tatonya tapi kelakuan orangnya,” tutup Fiki.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang