KOMPAS.com - Sejak diberlakukannya aturan baru distribusi gas elpiji oleh Pertamina pada 1 Februari 2025, para agen gas di lapangan merasakan dampak langsung dari kebijakan tersebut.
Salah satunya adalah Rahmat Hidayat, seorang agen elpiji di Gubeng Kertajaya, Surabaya, Jawa Timur, yang menghadapi berbagai tantangan dalam menyesuaikan diri dengan kebijakan distribusi tabung gas melon yang semakin ketat.
Baca juga: Dilarang Jual Elpiji 3 Kg, Pemilik Warung: Memangnya Pangkalan Bisa Jangkau Masyarakat?
Sebelum aturan baru diterapkan, setiap pembelian tabung elpiji 3 kg mewajibkan pelanggan untuk menunjukkan fotokopi KTP atau Kartu Keluarga.
Namun, kebijakan ini menuai polemik karena banyak pelanggan yang enggan memberikan data pribadi mereka.
Baca juga: Wali Kota Makassar: Jangan sampai Orang Kaya Membeli Elpiji Subsidi
"Seperti buah simalakama, agen mau menerapkan benar-benar yang diinginkan Pertamina itu susah. Karena tidak semua orang berkenan kita mintain fotokopi tersebut. Rata-rata mereka takut disalahgunakan, apalagi maraknya pinjol," ucap pria berusia 45 tahun itu.
"Kalau kita terapkan sesuai permintaan Pertamina, otomatis pelanggan itu lari ke pengecer. Sedangkan pengecer, awal mulanya, stok juga beli di agen," imbuhnya.
Untuk itu, aturan yang dibuat Pertamina tidak serta-merta berjalan mulus;
butuh penyesuaian yang tidak mudah dan hampir satu tahun agar pelanggan memahami sistem tersebut.
"Tahun lalu, di pertengahan tahun, ada pertemuan langsung dengan Pertamina untuk agen, bahwa Pertamina tetap kekeh bahwa pembagian harus tetap dengan menggunakan fotokopi data tersebut. Lalu kami bertanya, bagaimana jika ada yang menolak? Ya, Pertamina tidak mau tahu, harus sesuai peraturan tersebut," tutur Rahmat.
Kini muncul lagi aturan baru bahwa agen gas dilarang menjual elpiji bersubsidi kepada pengecer untuk dijual kembali.
Di mana untuk menjual elpiji 3 kg, harus ada beberapa syarat, salah satunya adalah memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB).
Larangan penjualan ke pengecer memang bertujuan agar elpiji bersubsidi tepat sasaran.
Namun, aturan baru ini juga memunculkan dilema sehingga membuat masyarakat kesulitan, terutama jika mereka kehabisan gas di malam hari.
"Tadi pagi saya baru dapat komplain, kalau harus beli di agen, operasionalnya terbatas. Kalau tengah malam butuh gas, bagaimana? Ke SPBU juga jauh, kalau tidak ada motor, bagaimana? Agen seperti kami tidak mungkin buka 24 jam," katanya.
Selain itu, bagi pelaku usaha kecil seperti pedagang bakso, gorengan, dan lain-lain, kuota yang diberikan juga menjadi kendala.