SURABAYA, KOMPAS.com - Sulviana (57) mendorong gerobak usangnya sambil mencari tempat berteduh di antara toko-toko saat langit mendung menggelayut di atas Masjid Al-Akbar Surabaya, Jawa Timur, pada Selasa (28/1/2025) siang.
Hujan yang turun hari itu bukan hanya membasahi jalanan, tapi juga menggerus pendapatannya sebagai pedagang es dan kopi keliling.
"Kalau musim hujan pasti merosot, Mas. Kotor sehari cuma Rp 100.000," ujar perempuan yang akrab disapa Ana itu sambil tersenyum.
Baca juga: Gibran Kunjungi Pasar Atom Surabaya untuk Menikmati Suasana Imlek
Senyum itu menyembunyikan kisah perjuangan seorang perempuan yang harus membesarkan anaknya dan mengasuh anak mendiang adiknya seorang diri.
Setiap pagi, Ana memulai aktivitasnya dengan mendorong gerobak dari Pasar Jambangan menuju area Masjid Al-Akbar Surabaya.
Baca juga: Kunjungi Pasar Atom Surabaya, Gibran: Jalan-jalan Saja
Perjalanan yang melelahkan ini ia jadikan olahraga pagi, meski gerobaknya sudah uzur dan membutuhkan pergantian.
"Rumah saya di Kebonsari, tapi gerobak saya taruh di Pasar Jambangan dekat gereja. Saya dorong sampai masjid, ya lumayan untuk olahraga," ceritanya dengan nada bersemangat.
Pukul 11 siang hingga 11 malam menjadi waktu Ana mengais rezeki. Ia berpindah dari satu titik ke titik lain di sekitar masjid, mencari pembeli yang haus akan minuman segarnya.
Di musim panas, ia bisa membawa pulang hingga Rp 250.000 per hari. Namun di musim hujan seperti sekarang, pendapatannya menyusut drastis.
Ana bukan pendatang baru dalam dunia pedagang kaki lima. Sebelum pandemi Covid-19, ia bekerja sebagai cleaning service di sebuah pabrik di Mojokerto.
Kepulangan mendadaknya ke Surabaya empat tahun lalu dikarenakan kabar duka, ibunya meninggal dunia.
"Waktu itu saya masih kerja di pabrik Mojokerto. Pas ibu meninggal di Surabaya, saya pulang terus jualan seperti ini," kenangnya.
Hidup Ana bukan tanpa tantangan. Status jandanya sejak anaknya masih kecil membuatnya harus bekerja ekstra keras.