SURABAYA, KOMPAS.com - Orang-orang yang dahulu menamainya dengan lontong balap bukan karena lontongnya balapan atau orang yang sedang balapan makan lontong.
Ada cerita menarik di balik kuliner khas Surabaya yang satu ini.
Lontong balap yang merupakan makanan andalan untuk disantap siang hari dan menjadi "pemadam" kelaparan. Segelas es kelapa muda yang selalu menjadi pendamping, cukup mendinginkan cuaca panas Kota Pahlawan.
Satu porsi lontong balap yang umumnya dibanderol seharga Rp 15.000 berisi irisan lontong, tahu goreng, tauge rebus, lentho, serta kucuran kuah bening yang memiliki rasa manis.
Baca juga: Menguak Rahasia Kuah Pekat Rawon Subedo, Kuliner Khas Surabaya
Biar semakin sedap saat disantap, penjual lontong balap akan menambahkan taburan bawang goreng dan daun bawang.
Kemudian, untuk menambah selera pedas manis bisa menambahkan bumbu petis, sambal, dan kecap.
Beberapa penjual juga menawarkan telur rebus, kerupuk udang, dan sate kerang yang ditusuk kecil-kecil bisa dijadikan tambahan lauk.
“Yang bikin lontong balap menjadi khas itu dari lentho. Terbuat dari kacang polong yang sudah direndam semalam, lalu direbus dan ditumbuh dengan bumbu.”
Demikian kata dosen Tata Boga Universitas Negeri Surabaya, Niken Purwidiani, kepada Kompas.com, pada akhir pekan lalu.
Kemaron lontong balap yang dahulu dipikul terasa berat menjadi asal-usul nama Lontong Balap Niken tak tahu pasti kapan lontong balap muncul pertama kali Surabaya, tetapi yang jelas makanan ini sudah ada sejak tahun 1913.
“Dari beberapa sumber menyebutkan makanan ini sudah ada sejak 1913,” ucap dia.
Umurnya yang sudah tua tapi masih memiliki banyak penikmat setia, wajar saja jika kuliner ini patut disebut legendaris.
Baca juga: Jejak Akulturasi Jawa dan Tionghoa dalam Kenyalnya Tahu Takwa Kediri
Tengoklah. Salah satu penjualnya yang berada di Jalan Kranggan dan Wonokromo pun sudah berjualan sejak puluhan tahun silam.
Lantas, mengapa kuliner ini disebut lontong balap?