Editor
KOMPAS.com - Sebanyak 26 perempuan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) diamankan dari sebuah rumah kos di Kecamatan Wlingi, Kabupaten Blitar, Jawa Timur pada Jumat (19/7/2024).
Rumah kos itu diduga telah dijadikan penampungan korban TPPO sejak 2 tahun terakhir.
Dari penggeledahan terhadap para korban, polisi menemukan sejumlah bukti pendukung berupa berbagai dokumen yang dipersiapkan untuk keberangkatan mereka ke luar negeri seperti paspor, KTP, dan lainnya.
Para perempuan tersebut berasal dari berbagai daerah di Indonesia.
Berdasarkan pengakuan para korban, ujarnya, mereka dijanjikan akan bekerja di sejumlah negara seperti Hongkong, Singapura, Taiwan, dan lain sebagainya.
Baca juga: Polisi Gerebek Penampungan Korban TPPO di Blitar, 26 Perempuan Diamankan
Selain itu polisi juga mencari keberadaan EZ, saksi terlapor yang merekrut para korban yang tertarik berangkat ke luar negeri karena dijanjikan tidak perlu mengeluarkan biaya di depan.
Nantinya biaya akan dipotong dari gaji mereka setelah bekerja.
Kasat Reskrim Polres Blitar AKP Febby Pahlevi Rizal mengatakan para korban berasal dari sejumlah provinsi, yakni 18 dari Nusa Tenggara Barat, empat orang dari Jawa Timur, dua orang dari Bali, satu orang dari Sulawesi Utara dan Jawa Barat.
Ia juga mejelaskan salah satu korban ada yang masih berusia 17 tahunn.
“Benar ada satu anak berusia 17 tahun dan telah kami serahkan ke dinas yang menangani anak di bawah umur. Dia berasal dari NTT,” tuturnya.
Febby mengklaim bahwa para korban merasa bersyukur saat ditemukan oleh pihak kepolisian karena jenuh menunggu pemberangkatan ke luar negeri.
Baca juga: Caleg Terpilih Tersangka TPPO di Sikka Dipastikan Tetap Dilantik Jadi Anggota DPRD
Dari keterangan korban, ada yang sudah tinggal di penampungan selama empat bulan.
"Mereka merasa bosan, karena ada yang sudah empat bulan berada di tempat penampungan," kata AKP Febby Pahlevi Reza.
Selain bosan, para calon TKI ilegal juga merasa terlantar selama berada di tempat penampungan karena harus tidur dalam satu kamar yang diisi sebanyak enam orang.
"Kalau dilihat kondisinya tidak layak. Karena mereka tidur dalam satu kamar yang diisi enam orang. Kemungkinan, karena mereka orang luar kota, juga sulit ke luar dan tidak punya uang," ujarnya.