Berdasarkan beberapa pertemuan yang dilakukan, pihak Indonesia menyepakati untuk memberikan izin bagi sekutu Inggris untuk memasuki kota Surabaya dan menempati beberapa objek yang sesuai dengan tugas mereka.
Pihak Inggris juga mengatakan dan menekankan mengenai mereka yang tidak melibatkan NICA maupun para tentara Belanda dalam kedatangannya tersebut.
Pasukan AFNEI kemudian membuat pos pertahanan dan melakukan penguasaan di beberapa berbagai objek penting di Surabaya oleh pihak Inggris seperti Kantor Pos Besar, Gedung BPM, pusat otomobil, pusat kereta api, hingga Gedung Internatio.
Bersamaan dengan itu, pada 19 September 1945 terjadi Insiden Hotel Yamato yaitu peristiwa perobekan bendera Belanda (merah- putih-biru) menjadi bendera Indonesia (merah-putih) di tiang Hotel Yamato, Surabaya.
Hal ini dilatarbelakangi munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia.
Gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada malam hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00 WIB, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara.
Para pemuda Surabaya yang melihat hal itu pada keesokan harinya menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia.
Perundingan yang dilakukan tidak berhasil sehingga Hariyono bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Pada tanggal 26 Oktober 1945 di malam hari, satu peleton di bawah pimpinan Kapten Shaw menyerbu Penjara Kalisosok dalam upaya membebaskan Kapten Huijer dan membebaskan para tawanan Belanda yang berada di kompleks tersebut.
Tindakan tersebut sudah melenceng dari tujuan awal pasukan AFNEI ketika datang ke wilayah Surabaya.
Dari peristiwa ini, pasukan sekutu diduga ditunggangi oleh Netherlands Indies Civil Administration (NICA) yaitu sipil Belanda yang menyusup untuk memulihkan kembali kekuasaan Hindia Belanda di Indonesia.
Pada tanggal 27 Oktober 1945 menggunakan pesawat Dakota, sekutu juga menjatuhkan selebaran yang isinya berupa ultimatum untuk menyerahkan kembali semua senjata dan peralatan perang milik Jepang dalam tempo 48 yang telah ditandatangani oleh Mayor Jenderal Hawthorn.
Selanjutnya Jenderal Hawthorn juga mengeluarkan ultimatum akan menghukum seberat-beratnya bagi yang tidak mematuhi perintah Inggris.
Selebaran tersebut memantik kemarahan dan penolakan oleh rakyat Surabaya. Tak perlu menunggu lama, rakyat Surabaya kemudian bersatu dan bergerak sebagai upaya untuk mengusir tentara sekutu.