Menurut Stanislaus, orang di era modern sekarang lebih mudah terpapar radikalisme. Pasalnya, konten-konten tersebut bisa didapat di internet.
“Berbeda dengan zaman dulu, yang mana harus tatap muka dan dilakukan diam-diam, kini sangat vulgar,” ungkapnya.
Apalagi, tambah Stanislaus, media sosial memiliki algoritma, yang mana bila seseorang menyukai suatu konten, dia akan dibanjiri konten-konten serupa.
Hal ini membuat individu tersebut menyelam jauh di dalam paham radikal.
Menurut Direktur Eksekutif Pusat Studi Politik dan Kebijakan Strategis Indonesia ini, sisi kerapuhan anak muda itulah yang dimanfaatkan ISIS.
Kelompok teroris tersebut, lanjut Stanislaus, kerap memanfaatkan generasi muda untuk kepentingannya.
Baca juga: Terduga Simpatisan ISIS Ditangkap di Malang, Pengamat: Ancaman Terorsime di Indonesia Masih Tinggi
Yang ditakutkan dari ini adalah munculnya lone wolf. Aksi lone wolf tak membutuhkan kelompok. Pelaku bisa melakukan serangan seorang diri.
“Ada banyak kasus kasus lone wolf di Indonesia, sekitar 13 kasus. Sebagian mereka terpapar lewat media sosial. Inilah bahayanya lone wolf, mereka bergerak sangat cepat,” tuturnya.
Baca juga: Waspada Arus Balik WNI Eks ISIS, Pakar Intelijen: Pola Radikalisasi Sudah Berubah
Untuk meminimalisasi anak muda terpapar radikalisme, khususnya di kalangan mahasiswa, Stanislaus menyarankan agar pihak perguruan tinggi mulai memetakan potensi radikalisme di kampusnya.
“Jangan sungkan bekerja sama dengan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme),” tuturnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.