Kata Subakri, setiap hari terdapat puluhan truk bermuatan berat yang melintasi jalan yang merupakan kelas jalan kabupaten itu.
Dengan muatan penuh, kata dia, satu truk membawa beban muatan lebih dari 10 ton yang berasal dari area tambang di Desa Pakisaji.
"Setiap hari ya sekitar 50 truk kalau pas sepi. Kalau sedang ramai yang lebih banyak lagi," ujarnya.
Dia menjelaskan, aktivitas penambangan itu sudah berlangsung cukup lama namun baru memicu terjadinya bencana tanah bergerak mulai pertengahan Maret lalu.
Baca juga: Jadwal Imsak dan Buka Puasa di Kota Blitar Hari Ini, 18 April 2022
Merujuk pada hasil kajian PVMBG, Izul Marom mengatakan, area terjadinya tanah bergerak meliputi luas 8.000 meter persegi yang kurang lebih dihuni tujuh rumah warga.
Di area yang disebut zona mahkota tanah bergerak itu, lanjutnya, amblesan tanah berkisar antara kedalaman 30-60 cm.
"Tim juga mengingatkan bahwa zona tanah bergerak ini dapat meluas," kata dia.
Baca juga: Muncul Asap Putih dari Kawah Gunung Kelud, Ini Penjelasan BPBD Blitar
Menurut Izul, faktor geologis yang memengaruhi terjadinya fenomena tanah bergerak disebut karena kondisi batuan yang lapuk dan tidak stabil.
Ketidakstabilan batuan di zona tersebut, ujarnya, meningkat oleh infiltrasi air hujan dalam ukuran debit yang tinggi.
"Laporan Tim PVMBG juga menyebutkan kondisi morfologi berupa lereng perbukitan dengan kemiringan 28 derajat yang turut mengontribusi adanya tanah bergerak," ujarnya.
Baca juga: Mulai Besok, Penjualan Cokelat Kinder Joy di Blitar Dihentikan Sementara