KOMPAS.com - Tiban atau Tari Tiban merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat untuk meminta hujan.
Tari Tiban berasal dari Desa Wajak, Kecamatan Boyolangu, Kabupaten Tulungagung.
Meski demikian, Ritual Tiban juga berkembang di pesisir selatan Jawa Timur lain seperti Trenggalek, Blitar, hingga Kediri.
Karena diselenggarakan dengan maksud meminta hujan, maka tradisi Tiban biasanya digelar pada musim kemarau.
Tiban dilakukan dalam bentuk adu kekuatan antara dua kelompok yang masing-masing membawa senjata berupa cambuk dari lidi daun aren.
Kata Tiban sendiri berasal dari bahasa Jawa yaitu “tiba” yang artinya jatuh, atau sesuatu yang tiba-tiba jatuh.
Dalam konteks kesenian Tiban ini, yang jatuh atau tiba-tiba jatuh adalah air hujan sebagai hasil dari ritual Tiban itu sendiri.
Ada beberapa versi yang menjelaskan terkait sejarah Tiban ini. Versi sejarah itu tergantung pada klaim dari mana tradisi ini bermula.
Bagi yang meyakini Tiban berasal dari Kediri, misalnya. Maka sejarah Tiban akan berkaitan dengan Kerajaan Kediri.
Namun demikian, masyarakat di Desa Wajak, Tulungagung meyakini bahwa Tiban merupakan kebudayaan asli mereka.
Disebutkan bahwa Tiban muncul pada masa Adipati Nilo Suwarno atau Surontani II di Katumenggungan Wajak.
Surontani II ini merupakan cucu dari Ki Juru Mertani, sebagai salah satu yang turut mendirikan kesultanan Mataram Islam dengan Panembahan Senopati sebagai penguasa pertamanya.
Pengangkatan Surontani II sebagai penguasa di Katumenggungan Wajak digelar secara besar-besaran dengan dihadiri Panembahan Senopati.
Namun penobatan itu diwarnai isu yang kurang sedap dan tidak diketahui kebenarannya.
Isu itu berasal dari Dewi Roro Pilang, putri Surontani II yang mengaku dihamili oleh Panembahan Senopati.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.