SURABAYA, KOMPAS.com - Perhimpunan Hotel dan Resto Indonesia (PHRI) Jawa Timur menyebut penagihan royalti lagu selama ini tidak transparan karena tidak sesuai aturan.
Hotel dan resto menjadi salah satu pihak yang terdampak dari pajak pembayaran royalti lagu berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
“Iya sama (terdampak) kita mengeluhkan semua ini di Jawa Timur,” kata Ketua PHRI Jatim, Dwi Cahyono, Rabu (20/8/2025).
Baca juga: Hindari Royalti dari LMKN, Pengusaha Otobus Beralih Putar Video Ludruk atau Pengajian
Dwi menjelaskan, pihak hotel dan resto telah mendapat tagihan sejak dua tahun lalu. Namun, implementasi di lapangan sangat carut marut.
“Kita bingung, dulu sekitar tahun 2021-2022, yang nagih dari salah satu penyanyi dengan grupnya. Ada salah satu hotel ditagih dua kali dari pihak yang berbeda,” jelasnya.
Bukan hanya Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LKMN) yang melakukan penagihan, sebelumnya sejumlah pihak lain juga ikut menagih dengan perhitungan yang tidak jelas.
“Aturannya gimana (tanya pihak hotel dan resto), sudah kuatnya berapa (jawaban penagih). Wah sudah tidak karu-karuan ini,” bebernya.
Sejak ada penagihan royalti lagu, pihak hotel dan resto pernah mengantisipasi dengan memutar musik instrumen produksi sendiri. Tetapi, malah ditagih royalti.
“Dulu sudah pernah antisipasi lagu tradisional seperti gamelan yang tidak mendaftarkan ke SILEM (Sistem Informasi Lagu dan Musik). Itu kita rekam sendiri, itu pun masih kena,” jelasnya.
Baca juga: PHRI Jatim: Hotel dan Resto Sudah Ditagih Royalti Lagu Sejak 2 Tahun Lalu
Selain itu, pihak hotel dan resto juga ditagih pajak royalti lagu meskipun memutar musik dari publik domain. Padahal seharusnya bebas pembayaran.
“Jadi mereka pun juga tidak paham sampai yang publik domain tetap harus membayar. Padahal kan publik domain sudah milik masyarakat,” tegasnya.
Lebih lanjut, Dwi menjelaskan pihak hotel dan resto mengaku keberatan dengan sistem perhitungan pembayaran berdasarkan jumlah kursi dan kamar.
“Kursi dan kamar itu tidak semua terpakai atau terisi okupansinya tapi dianggap semua terisi dalam satu tahun terus harus bayar semua, itu tidak fair,” ungkapnya.
Baca juga: Ogah Putar Musik dan Film Dalam Bus, Juragan 99: Sementara Hening Dulu
PHRI Jatim juga mempertanyakan sistem penagihan royalti lagu yang diputar melalui TV kamar hotel.
“TV kamar itu dianggap bisa mempromosikan untuk muter lagu, jadi semua kena. Sedangkan itu royalti publikasi yang sudah dibayar radio atau TV-nya,” tuturnya.
Oleh sebab itu, PHRI mendesak pemerintah untuk mengkaji ulang aturan hak cipta mulai dari sistem penagihan, perhitungan, dan distribusinya harus transparan.
“Bukan berarti kita tidak mau bayar lho, kita mau menghargai karya ciptaan bangsa atau luar negeri atau siapapun. Tapi dengan aturan yang benar dan tidak memberatkan,” tutupnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang