SURABAYA, KOMPAS.com - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jatim menggarahamkan sound horeg karena dianggap mengandung kemudaratan.
Fatwa haram sound horeg tercantum dalam Fatwa MUI Jatim Nomor 1 Tahun 2025 tanggal 13 Juli 2025.
Putusan tersebut, mengundang pro dan kontra di berbagai kalangan.
Pakar sosiologi dan antropologi dari Universitas Brawijaya Malang, Anton Novenanto menilai bahwa sound horeg merupakan budaya rakyat atau pop culture.
“Secara teoritik adalah sebuah reaksi budaya arus utama, budaya yang dominan. Sehingga sound horeg menjadi populer artinya mereka sedang bereaksi dengan budaya utama,” katanya kepada Kompas.com, Rabu (16/7/2025).
Baca juga: MUI Jatim Fatwa Haram Sound Horeg, Eri Cahyadi: di Surabaya Tidak Ada
Menurutnya, seiring perkembangannya, kepopuleran sound horeg berhasil merespons dominasi budaya yang ada di kalangan masyarakat.
“Sound horeg memang berhasil mengusik kenyamanan, kemapaman, kelompok-kelompok yang selama ini berkuasa. Saya melihatnya gitu,” terangnya.
Lebih lanjut, akademisi yang akrab disapa Nino tersebut menilai sound horeg sebagai simbol bagi pelaku yang suaranya tak didengarkan.
Itulah mengapa mereka mengatur volume musik sekeras-kerasnya.
“Musik keras itu artinya sebuah simbol bahwa selama ini mereka sudah bersuara tapi nggak pernah didengarkan,” tegas Nino.
Baca juga: Tanggapi Fatwa Haram MUI soal Sound Horeg, Wali Kota Blitar: Di Sini Masih Kondusif
Dia bilang, budaya yang populer kerap muncul inkonektivitas.
“Kenapa orang suka musik keras? ya mungkin selama ini terlalu sering dibungkam,” tutur akademisi lulusan Universiteit Leiden, Belanda tersebut.
Sehingga, wajar bila terjadi pro dan kontra di kalangan masyarakat karena ini menjadi bagian dari terciptanya konflik horizontal.
Nino juga menyinggung masalah pop culture yang pernah populer di Indonesia.
Misalnya penyanyi Rhoma Irama menentang goyang ngebor ala Inul Daratista yang dianggap vulgar dan merusak citra musik dangdut.