SUMENEP, KOMPAS.com - Realisasi program Sekolah Rakyat di Kabupaten Sumenep, Jawa Timur masih menghadapi kendala serius pada tahap awal pelaksanaan.
Hingga awal Juli 2025, Dinas Pendidikan (Disdik) Sumenep menyebut belum ada satu pun calon kepala sekolah maupun guru yang secara resmi mendaftar sebagai tenaga pengajar.
"Belum ada (pendaftar), baik dari calon kepala sekolah maupun calon guru," kata Agus Dwi Saputra, Kepala Disdik Sumenep, Kamis (10/7/2025).
Agus mengatakan, Disdik sebelumnya telah membuka peluang bagi guru-guru dari berbagai jenjang untuk ikut serta dalam program Sekolah Rakyat.
Baca juga: Tak Ada Siswa yang Daftar, Sekolah Rakyat Batal Digelar di Sumenep Tahun Ini
Hanya saja, sebagian guru yang semula diusulkan untuk bergabung justru memilih menolak.
"Beberapa guru, yang diajak diskusi, menyatakan belum berani pindah (mengajar), aturannya masih belum jelas," ucap Agus.
Menurut Agus, penolakan didasari kekhawatiran soal ketidakjelasan regulasi mengenai hak, kewajiban, serta kewenangan jika mengajar di Sekolah Rakyat.
"Mereka, kalau pindah ke Sekolah Rakyat, takutnya tunjangan dan status kepegawaian jadi bermasalah," ujar dia.
Agus mengatakan, para guru khawatir jika pindah dari sekolah asal ke Sekolah Rakyat, maka hak yang mereka peroleh selama ini, seperti tunjangan dan beban kerja, akan berubah atau bahkan hilang.
Namun demikian, Disdik Sumenep tetap menyiapkan sekitar 30 guru bila program Sekolah Rakyat tetap dijalankan tahun ini.
"Kami tetap siapkan guru, jika sewaktu-waktu program ini jalan, jumlahnya cukup banyak, mungkin masih ada tes dan semacamnya," tuturnya.
Baca juga: Lulusan Sekolah Rakyat Tak Harus Kuliah, Boleh Langsung Kerja atau Usaha
Sebelumnya, Ketua Koordinator Kabupaten (Korkab) Program Keluarga Harapan (PKH) Sumenep, Hairullah, menyatakan bahwa hingga awal Juli 2025, belum ada satu pun siswa yang bersedia mengikuti program Sekolah Rakyat.
"Dari 18.370 anak usia sekolah yang sudah diverifikasi, belum ada satu pun yang mendaftar, khususnya di jenjang SD," kata Hairullah, Rabu (9/7/2025).
Ketua Korkab yang akrab disapa Ipong itu menambahkan, belasan ribu anak diverifikasi terdata dalam desil satu dan dua Data Terpadu Kesejahteraan Sosial Ekstrem Nasional (DTSEN).
Mereka sebelumnya ditargetkan sebagai penerima utama manfaat Program Sekolah Rakyat agar bisa mengakses pendidikan yang layak.
Namun, pola berasrama yang diterapkan justru menjadi alasan utama penolakan dari keluarga calon siswa.
Sebagian orangtua enggan melepas anaknya untuk tinggal jauh dari rumah, meski difasilitasi penuh oleh pemerintah.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang