LUMAJANG, KOMPAS.com - Suasana sore di Desa Tegal Bangsri, Kecamatan Ranuyoso, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, begitu ramai, Kamis (19/6/2025).
Warga berkumpul di sekitar arena pacu karapan. Melihat jagoannya melesat kencang. Pekikan semangat dan tawa riang mengiringi setiap detik perlombaan.
Ini bukan soal kerbau gagah atau sapi perkasa yang melesat kencang, melainkan marmot-marmot kecil yang menjadi bintangnya.
Hewan-hewan lucu yang biasanya hanya jadi teman di rumah itu menunjukkan sisi kompetitifnya.
Baca juga: Seekor Marmot Sempat Ganggu Pebalap F1 di GP Kanada
Aturannya sederhana, tak perlu ada joki yang ikut berpacu dengan hewan andalannya seperti di karapan sapi atau kerbau. Di karapan marmot, joki hanya bertugas melepas hewan di garis start.
Setelah itu, mereka hanya perlu bersorak, memanggil-manggil, dan memotivasi marmot-marmotnya agar melaju kencang.
Lintasan sepanjang 50 meter menjadi arena bagi para marmot ini untuk membuktikan siapa yang tercepat.
"Hari ini ada 48 peserta, ada dari Lumajang, Jember, Probolinggo," kata Afandi, panitia karapan marmot, Kamis (19/6/2025).
Di balik hingar-bingar adu cepat, karapan marmot memiliki makna lebih dalam. Bagi masyarakat Lumajang, tradisi ini juga merupakan penanda atau penyambut musim kemarau.
Sebuah perayaan yang memadukan hiburan dengan kearifan lokal dalam menyikapi perubahan alam.
"Hadiahnya ada tropi, uang, kalau tujuannya untuk hiburan, sama kalau orang sini biasanya kalau sudah ada karapan marmot berarti sudah musim kemarau, karena gak bisa balapan kalau hujan," katanya.
Baca juga: Puncak Kemarau Diprediksi Juli-Agustus, Kalteng Waspadai Ancaman Karhutla
Marmot yang ikut serta dalam karapan ini bukanlah marmot sembarangan. Mereka adalah pilihan khusus yang mendapatkan perlakuan istimewa dari para pemiliknya.
Sebelum hari-H perlombaan, "atlet" mungil ini diberi jamu dan pakan khusus yang dipercaya bisa meningkatkan stamina dan kecepatan mereka.
Ini menunjukkan betapa seriusnya para pemilik dalam mempersiapkan marmot andalan mereka, berharap bisa membawa pulang gelar juara.
"Perawatannya itu dikasih jamu kalau malam, biasanya jahe sama kunyit, terus makannya pakai rumput keriting," ujar Bagas, peserta karapan marmot.
Baca juga: 5 Tradisi Pacuan Tradisional di Indonesia, Tidak Hanya Karapan Sapi
Tentu saja, selayaknya kompetisi, selalu ada imbalan bagi sang juara. Selain trofi dan hadiah uang, marmot yang berhasil meraih podium tertinggi akan memiliki nilai jual yang melonjak drastis dari harga biasa.
Ini bukan hanya tentang kemenangan sesaat, tetapi juga tentang pengakuan, prestise, dan kebanggaan bagi sang pemilik.
"Kalau menang harganya naik bisa sampai Rp 500.000, belinya cuman Rp 30.000," kata Rofik, peserta karapan marmot.
Karapan marmot bukan sekadar balapan, melainkan perpaduan unik antara tradisi, hiburan, dan kearifan lokal yang patut dilestarikan di Lumajang.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang