JEMBER, KOMPAS.com - Dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Muhammadiyah (Unmuh) Jember, Suyono mengkritisi soal Revisi Undang-Undang (RUU) Penyiaran yang tengah digodok oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI.
Dia menyebut salah satu pasal krusial adalah Pasal 50 B Ayat (2) RUU Penyiaran yang dianggap bertentangan dengan semangat UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Baca juga: Dewan Pers Tolak Revisi UU Penyiaran karena Melarang Media Investigasi
Ada risiko larangan untuk menyiarkan konten eksklusif jurnalisme investigasi. Padahal menurutnya, jurnalisme investigasi harus mendapatkan jaminan kebebasannya.
"Terlepas dari perdebatan bentuk medianya, yang jelas jurnalisme investigasi merupakan produk pers, yang harus dijamin kebebasannya," ungkap Suyono dalam keterangan tertulis, Rabu (15/5/2024).
Baca juga: Komentari RUU Penyiaran, Mahfud: Keblinger, Masak Media Tak Boleh Investigasi?
Dia menilai pasal tersebut tampak seperti sebuah reaksi “penguasa” untuk membatasi aktivitas jurnalisme yang dikembangkan para jurnalis media, melalui siaran podcast dengan memanfaatkan media baru (new media), melalui platform media sosial.
Suyono berpendapat DPR RI seharusnya merupakan representasi kedaulatan rakyat yang menyuarakan kepentingan rakyat yang diwakili.
"Tapi pada praktiknya, DPR RI selama ini lebih banyak menyuarakan kepentingan “pemerintah” untuk melindungi kekuasaan atau keberlangsungan penguasa dan kepentingan kelompok elit lainnya," kata Suyono.
Menurut dia, hal itu tercermin dari sikap dan tindakan DPR RI, yang tampak selalu reaktif menyikapi setiap perkembangan.
Baca juga: Draf RUU Penyiaran: Eksploitasi Anak di Bawah 18 Tahun untuk Iklan Dilarang
Terutama perkembangan media yang bertransformasi dengan cepat seiring perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Sikap anggota dewan seperti ini, kata dia, tentu bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang menyebutkan bahwa penyusunan sebuah regulasi baru harus melibatkan partisipasi publik.
Sementara, sejumlah pakar media, dan lembaga media, termasuk Dewan Pers, mengaku tidak pernah dilibatkan dalam proses pembahasan draf revisi RUU Penyiaran, baik dalam proses dengar pendapat, maupun proses pembahasan lainnya.
Dia menilai draf revisi RUU Penyiaran, tidak merujuk UU Nomor 40/1999 tentang Pers dan juga Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI), sebagai konsideran dalam pembahasan RUU Penyiaran tersebut.
"Wajar kalau draf RUU Penyiaran yang tengah dibahas Badan Legislatif DPR RI, sempat menimbulkan kontroversi, karena ada beberapa pasal yang dinilai kalangan media, berpotensi memberangus kebebasan pers, dan tentunya bertentangan dengan semangat yang tercermin dalam UUD 1945," terang dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.