KOMPAS.com - Peristiwa penembakan misterius 1982-1985, atau kerap diistilahkan sebagai 'Petrus', diakui negara sebagai pelanggaran HAM berat. Rangkaian peristiwa kala itu juga merembet ke Kota Malang.
Diawali pembunuhan petinju terkenal, Johny Mangi, hingga teror pengiriman potongan kepala terhadap satu media yang rajin memberitakannya.
"Dor!"
Johny Mangi, petinju terkenal berusia 25 tahun asal Kampung Kayu Tangan, Kota Malang, itu langsung tersungkur.
Peluru panas itu menghantam pelipis kanan dan tembus ke bagian kiri kepala Johny.
Dia lalu mati terkapar dengan kepala berlumuran darah di jembatan di dekat Jalan Widodaren. Kejadiannya dini hari, 1 Mei 1983.
Warga Kota Malang kemudian geger. Petinju yang cukup dikenal suka berkelahi dan bikin ribut itu tewas misterius.
Keterangan polisi saat itu menyebut sang petinju "meninggal akibat kecelakaan senjata api."
Dia diberitakan tewas tertembak setelah meniru permainan 'rulet Rusia'. Ada dugaan lain dia mati bunuh diri.
Namun tidak semua percaya atau meragukan cerita polisi. Sumber Majalah Tempo, edisi 14 Mei 1983, menyebut ada dua sosok menghampirinya, lalu ada keributan, dan terdengar tembakan.
Dan ada keanehan, lampu di lokasi kejadian tiba-tiba mati dan orang-orang diminta menyingkir. Lalu, "dor!"
"Dalam hitungan tiga menit terdengar letusan senjata api dan Johny Mangi, ketika lampu menyala kembali, sudah tergeletak meninggal dunia," kata Stanley Adi Prasetyo, eks anggota Komnas HAM yang memimpin penyelidikan kasus penembakan misterius 1982-1983.
Dipimpin Stanley, Komnas HAM menurunkan tim ke Kota Malang untuk menyelidiki kematian sang petinju. Mereka juga datang ke kota-kota besar lainnya untuk menyelidiki kasus-kasus serupa — ada 117 saksi yang diperiksa.
Di Kota Malang, antara 2008 dan 2011, mereka mewawancarai sejumlah saksi mata mulai kawan-kawan Johny, bekas anggota polisi, dokter forensiknya, hingga petugas di kamar mayat rumah sakit setempat.
Baca juga: Dianggap Aib, Pemulihan Korban Pelanggaran HAM Petrus Terkendala
Stanley, yang lahir dan besar di Kota Malang, bahkan berhasil meminta keterangan eks-polisi yang ikut di dalam operasi eksekusi sang petinju.
Dia juga menemui salah seorang kawan Johny sesama petinju yang menjadi target untuk dihabisi, tapi selamat karena kabur.
"[Hasil penyelidikan] Itu sudah cukup menjelaskan kepada kami bahwa Johni Mangi dieksekusi [dengan ditembak]," ungkap Stanley kepada wartawan BBC News Indonesia, Heyder Affan, Jumat, 3 Februari 2023.
Temuan tim yang dipimpin Stanley ini menguatkan kesaksian ayah Johny, Yan Ratu Mangi, yang sejak awal meyakini anaknya tidak bunuh diri.
"Dia bermental baja, berani, dan tak mudah putus asa," ujarnya kepada wartawan, tak lama setelah kejadian.
Pensiunan polisi dan pelatih atletik itu menyangkal anaknya sering membawa senjata api. Namun Yan tak membantah memiliki senjata laras panjang, tapi itu hanya digunakan untuk berburu.
Baca juga: Sejarah 12 Pelanggaran HAM Berat yang Disesalkan Jokowi, Tragedi 65-66 hingga Petrus
Pada 1980-an, Johny dikenal disegani di kalangan korak — istilah lokal untuk preman — Kota Malang. Dia diberitakan pernah dihukum enam bulan karena kasus penganiayaan.
Tuduhan macam-macam yang dilekatkan kepada anaknya disangkal Yan. Hanya saja, diakuinya anak bungsunya paling nakal jika dibanding dua kakaknya.
Apalagi kejadian penembakan itu hampir berbarengan dengan kasus-kasus 'perburuan' terhadap para preman di kota-kota besar lainnya.
Salah-satu surat kabar yang saat itu gencar memberitakan penembakan misterius di Kota Malang adalah Harian Suara Indonesia (SI).
"Koran SI yang sering memprotes keras 'penembakan misterius', terutama yang terjadi di Jawa Timur dan Kota Malang," ungkap Stanley.