SIDOARJO, KOMPAS.com - Di antara riuhnya aktivitas kota Sidoarjo yang tak pernah benar-benar sepi, ada kisah seorang ibu muda berusia 24 tahun yang bertahan hidup dengan cara yang nyaris tak terbayangkan.
Kisah itu milik Endang Susilowati, perempuan yang kini dikenal sebagai penjual pentol di Jalan Sultan Agung, Kota Sidoarjo.
Jauh sebelum memiliki gerobak kecil yang kini menjadi sumber rezekinya, Endang pernah melewati masa paling suram dalam hidupnya.
Kala itu Endang bersama sang suami, Sugianto, 3 tahun yang lalu datang ke Surabaya dengan harapan bisa memulai hidup baru.
"Waktu jaman Covid itu, suami kena pengurangan karyawan di pabrik kayu di Jember, jadi kami nekat ke Surabaya buat cari kerja," ujar Endang sembari tersenyum tipis, Minggu (30/11/2025).
Baca juga: Perjuangan Aminah, Dari Warkop Sederhana Berhasil Sekolahkan Anak hingga Perguruan Tinggi
Tak memiliki tujuan jelas maupun sanak keluarga yang bisa dituju, pasangan muda itu akhirnya terpaksa mengistirahatkan tubuh mereka di sebuah SPBU di kawasan Kecamatan Buduran, Kabupaten Sidoarjo.
Ironisnya, pada saat itu Endang tengah mengandung anak pertama mereka. Usia kandungan baru satu bulan.
"Karena kami nggak punya saudara di Surabaya sama di Sidoarjo, akhirnya kami nekat tidur di SPBU Jenggolo itu. Kami bermalam di SPBU itu sampai 3 malam, padahal waktu itu saya hamil 1 bulan," ujarnya sambil mengingat.
Demi bertahan hidup dan memastikan asupan gizi bagi janin yang dikandungnya selama berada di rantau, Endang dan suami mengambil keputusan yang cukup berat, yakni menjual satu-satunya barang berharga yang masih mereka miliki kepada warga setempat, seharga Rp 400.000.
"Uang sudah habis, buat makan nggak ada, kami terpaksa menjual satu-satunya barang berharga kami, waktu itu terjual cuma 4 ratus ribu," tambah Endang.
Di tengah keputusasaan itu, takdir berkata lain. Di sela-sela uang terakhir yang mereka miliki, Endang dan suaminya dipertemukan dengan seorang penjual pentol yang biasa mangkal di sudut SPBU.
Baca juga: Di Balik Keringat Zubaidah Setiap Hari Banting Tulang, Ada Masa Depan 3 Anak yang Dipertaruhkan
Sang suami kemudian diajak bertemu dengan pemilik usaha pentol tersebut. Dari pertemuan singkat itulah, mereka akhirnya memutuskan untuk ikut berjualan pentol.
"Uang 4 ratus ribu itu kami gunakan buat makan dan cari kost. Alhamdulillah waktu itu kami pertemukan sama orang bos pentol."
"Akhirnya kami terima dan kami mulai jualan pentol dengan bagi hasil 30 persennya kami setorkan ke pemilik usaha, sisanya kami tabung sendiri," ucapnya.
Tak hanya sekadar menjual, perlahan-lahan Endang dan suaminya belajar membuat pentol.
Keinginan untuk mandiri dan memberi penghidupan yang lebih layak bagi buah hati mendorong mereka terus bertahan.
Berbekal tabungan yang mereka kumpulkan sedikit demi sedikit selama 2 tahun itu, pasangan ini memberanikan diri membuka usaha pentol sendiri.
"Alhamdulillah kami akhirnya setahun ini sudah bisa jualan pentol sendiri. Nekat buka usaha sendiri, soalnya anak sudah mulai besar, kebutuhan juga sudah mulai banyak," ungkapnya.
Kini, di sebuah rumah kontrakan sederhana yang mereka sewa seharga Rp 7,5 juta per tahun, di Kelurahan Magersari, Kecamatan Sidoarjo, Endang menetap bersama keluarga kecinya.
Dari ruang dapur yang sempit itu, ia memproduksi pentol buatannya sendiri setiap hari.
Baca juga: Kisah Sani, Perjuangan Ibu Muda Musisi dari Lombok Bernyanyi Sambil Gendong Anak
"Pentolnya buat sendiri di rumah kotrakan, sambil gantian sama bapaknya buat jaga anak," ujarnya.
Bersama suaminya, Endang menjalani ritme hidup yang penuh ketekunan. Keduanya berbagi peran tanpa keluhan, bergantian menjaga anak lelaki buah hati mereka di tengah kesibukan merintis usaha pentol rumahan.
"Saya jualan pagi sampai sore, anak dijaga sama bapaknya. Kalau malam sampai pagi baru saya yang jaga anak, sambil bikin adonan buat pentol," ujar Endang diiringi senyuman.
Bukannya tak ada aral rintangan dalam menjual pentol. Cuaca yang berubah cepat, panas terkadang juga hujan yang kerap datang tiba-tiba menjadi tantangan harian bagi Endang.
Belum lagi penghasilan yang tak selalu stabil, menjadi menu harian yang harus ia terima dengan lapang dada.
"Yang paling sedih itu kalau tiba-tiba turun hujan, rombong ini biasanya saya dorong ke tempat yang teduh, kan jualannya di pinggir jalan apalagi nggak ada tempat buat berteduh," ujarnya.
"Jualannya juga nggak selalu ramai, tapi tetap disyukuri, setidaknya kondisi yang sekarang ini nggak kayak 3 tahun yang lalu," tambahnya.
Di tengah kesibukan itu, Endang menyimpan satu cita-cita sederhana namun besar artinya, ia ingin menambah satu rombong pentol lagi.
Harapannya, dengan rombong tambahan itu, penghasilan keluarga bisa meningkat dan masa depan anaknya dapat lebih terjamin.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang