BANGKALAN, KOMPAS.com - Kehidupan kakak beradik Fitri Urbasari (13) dan Muhammad Zainullah (10) asal Bangkalan, Jawa Timur berubah sejak dua minggu yang lalu.
Keduanya dituntut hidup mandiri setelah tinggal menetap di asrama Sekolah Rakyat Terintegrasi (SRT) 51 Bangkalan.
Di balik gedung dua lantai itu, keduanya tinggal terpisah di asrama putri dan putra. Satu kamar asrama, masing-masing diisi empat siswa dengan dua ranjang susun.
Di ruang kamar ber-AC itu, para siswa menahan rindu berpisah dengan orangtuanya. Banyak mimpi yang harus mereka perjuangkan untuk mendapat kehidupan yang lebih baik.
"Kadang kalau ada teman di kamar menangis, saya juga menangis karena kangen orangtua," ucap Muhammad Zainullah, Jumat (17/10/2025).
Baca juga: Sekolah Rakyat, Harapan Baru Anak-anak dari Keluarga Tak Mampu
Zainullah dan kakaknya, Fitri harus berjuang meraih cita-citanya di SRT.
Keluarganya merupakan penerima bantuan sosial pemerintah dan terverifikasi untuk menerima program pendidikan di SRT.
"Ibu kami sekarang kerja di dapur Makan Bergizi Gratis (MBG), lalu ayah kami kerja di toko ikut orang," katanya.
Meski rasa rindu pada ibunya terus muncul, ia bersyukur perlahan betah tinggal di asrama.
"Di sini enak, ruang kelasnya dingin, kamarnya dingin beda dengan di rumah. Di sini juga dapat makan gratis, jajan dan teman-temannya banyak," ucapnya.
Muhammad Zainullah (10) adik dari Fitri Urbasari Zainullah mengaku ingin segera tumbuh besar dan meraih cita-citanya sebagai pelayar kapal pesiar di luar negeri.
"Saya ingin kerja di pelayaran. Ingin membahagiakan orangtua, saya juga ingin membuatkan orangtua rumah yang ada AC-nya seperti di sini," ujar dia.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Fitri, kakak Zainullah. Remaja putri yang gemar bermain sepak bola itu bercita-cita ingin menjadi polisi wanita atau polwan.
"Saya ingin nanti menjadi polwan," katanya.
Fitri mengaku bersyukur, masa remajanya bisa dihabiskan di SRT dan bertemu banyak teman serta saling berbagi pengalaman dan tidak lagi terpaku bermain ponsel.
"Dulu saya tiap dirumah selalu main ponsel. Tapi di sini lebih enak, tidak ada yang bawa ponsel, kita bisa berinteraksi sama teman dan tidak terganggu dengan main ponsel," kata Fitri.
Baca juga: Dari Lembah Sunyi Menuju Cahaya: Kisah 3 Siswa Sekolah Rakyat Bandung Menenun Mimpi
Ia juga mengaku senang bisa masuk ke SRT bersama dengan adiknya dan bisa saling menguatkan satu sama lain.
"Di sini enak kami benar-benar dilindungi dan diperhatikan. Saya dan adik saya betah di sini," kata Fitri.
Sementara itu, Guru Bimbingan Konseling (BK) SRT, Prista Azizah Rahmi mengaku saat ini terdapat 67 siswa di SRT yang terbagi untuk Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP).
Usia para siswa juga beragam, mulai dari usia 7 tahun hingga belasan tahun. Tak hanya itu, sikap dan perlakuan siswa juga tak sama antar satu dan lainnya.
"Tentu perlu melakukan sejumlah penyesuaian. Apalagi siswa di sini beragam mulai dari SD dan SMP. Dengan sistem boarding school yang diterapkan tentunya respons setiap siswa itu tidak sama," kata dia.
Prista menilai, perlu adanya perhatian ekstra untuk membuat siswa terbiasa dengan banyaknya kegiatan di SRT. Apalagi, seluruh kegiatan itu dimulai sejak pukul 04.00 hingga pukul 21.00.
"Jadi anak-anak itu bangun jam 04.00 untuk shalat berjamaah dan dari situ sudah mulai aktivitas pagi, mulai merapikan kasur, menyiapkan perlengkapan sekolah dan lainnya," katanya.
Proses adaptasi tak hanya dirasakan oleh siswa tetapi juga para guru yang harus meluangkan waktu lebih banyak dan lebih sabar menghadapi siswa dengan berbagai latar belakang keluarga tersebut.
"Biasanya kalau di sekolah reguler itu siang sudah selesai, kalau kami sampai sore. Nanti malamnya dilanjutkan oleh wali asuh untuk mengaji dan lainnya," ujar dia.
Meski harus menghabiskan banyak waktu, Prista mengaku senang bisa mengajar para siswa di SRT.
"Kami di sini seperti keluarga, kami juga sebagai orangtua untuk anak-anak di sini. Saking eratnya kontak dengan anak-anak, kami menyayangi mereka juga seperti anak sendiri," ucap dia.
Baca juga: Mengintip Kegiatan Siswa di Asrama Sekolah Rakyat 21 Surabaya
Di lokasi yang sama, Guru Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) Suci Fariandani mengaku butuh ketelatenan yang ekstra untuk mendisik para siswa. Apalagi, terdapat sejumlah siswa yang hingga kini belum bisa baca tulis.
"Ada juga siswa kelas SMP yang belum bisa membaca, sekitar 5 siswa. Jadi setiap hari, 5 siswa itu kami berikan pendamping khusus untuk bisa belajar membaca," kata dia.
Saat ini, SRT 51 Bangkalan masih melaksanakan proses matrikulasi untuk menyeleksi kemampuan masing-masing anak. Matrikulasi ini dilakukan selama dua bulan.
"Memang harus lebih telaten. Namun perlahan anak-anak juga lebih mudah diarahkan karena memang di sini bisa fokus untuk belajar. Setiap kelas juga hanya berisi 16 sampai 17 siswa saja," ujarnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang