SUMENEP, KOMPAS.com - Bupati Sumenep, Jawa Timur, Achmad Fauzi Wongsojudo, mengungkapkan keprihatinannya setelah kasus penyakit campak di wilayahnya mencapai lebih dari 1.000.
Data dari Dinas Kesehatan P2KB Sumenep mencatat, sejak Januari hingga pekan pertama Agustus 2025, terdapat 1.534 kasus campak. Dari jumlah itu, empat anak dilaporkan meninggal dunia.
Fauzi menargetkan penurunan kasus campak dalam waktu satu bulan melalui penanganan khusus.
Upaya ini dilakukan bersama Pemerintah Provinsi Jawa Timur dan UNICEF untuk segera mengendalikan lonjakan kasus.
Baca juga: Hingga Agustus, Kasus Campak di Sumenep Lebih dari 1.500 Kasus
"Kemarin kita sudah melakukan langkah-langkah khusus ya, bahkan kemarin dengan provinsi Jawa Timur, termasuk dengan UNICEF, bagaimana dalam satu bulan ini, berkaitan dengan campak ini bisa turun," kata Fauzi pada Selasa (19/8/2025).
Ia menekankan pentingnya keterbukaan data agar penanganan dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
Setiap kasus harus dicatat secara akurat tanpa ada penutupan informasi, sehingga pemerintah dapat segera menyiapkan strategi untuk mengendalikan penyebaran penyakit.
"Tapi campak ini bukan hanya di Sumenep ya. Cuma memang, Kabupaten Sumenep, kami selalu menyampaikan bahwa penting mendata orang-orang sakit, jangan mengaburkan data, buka data sesungguhnya agar kita bisa menyelesaikan secepat mungkin," ungkapnya.
Fauzi juga menambahkan bahwa status kejadian luar biasa (KLB) dapat diberlakukan agar penanganan tidak berlarut-larut.
Baca juga: Korban Meninggal karena Campak di Sumenep Tak Pernah Imunisasi
"Makanya kami langsung menyampaikan ini harus KLB. Karena saya tidak ingin berlarut-larut," tegasnya.
Bupati yang menjabat dua periode ini mengingatkan bahwa meskipun campak tergolong penyakit menular yang dapat dikendalikan, tetap ada risiko fatal, terutama pada anak-anak.
"Kenapa, karena saya belajar dari kejadian-kejadian sebelumnya ya, kejadian selain campak. Kita juga ingin mempercepat berkaitan dengan penyakit-penyakit khusus."
"Ini kan penyakit menular ya. Walaupun memang tidak membahayakan, tetapi bisa juga risiko meninggal," ungkapnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang