PASURUAN, KOMPAS.com - Pengusaha otomotif dan bus mulai menyikapi pemberlakuan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik.
Mereka menghindarinya dengan memutar video lawak atau pengajian untuk menghindari tagihan yang muncul dari Lembaga Menejemen Kolektif Nasional (LMKN).
"Memang kalau dilihat dari PP tersebut, pengusaha otobus dikenakan royalti jika menggunakan musik atau lagu yang sudah didaftarkan atau yang masuk kategori di LMKN. Nah saat ini kami menghindari itu," ujar Suryono Pane, pengusaha otobus Kopi Langit 81, Selasa (19/08/2025).
Baca juga: Takut Ditagih Royalti, Manajemen PO Bus di Jatim Ramai-ramai Larang Kru Memutar Musik
Sebagai pengganti dari musik atau lagu yang dapat berdampak pada penarikan royalti, dirinya meminta kru bus memutar video ludruk, campursari atau pengajian dari da'i kondang.
Mulai dari ludrukan Kirun cs, Kartolo cs, pengajian Ahmad Bahauddin Nursali (Gu Baha), Ustaz Adi Hidayat atau Muhammad Iqdam Kholid (Gus Iqdam).
"Sekarang sudah saya sampaikan ke kru bus mulai sekarang lebih banyak memutar seni seni tradisional, seperti lawakan atau ludruk," tambahnya.
Suryono mengaku kecewa pada pemerintah sejak munculnya penarikan royalti namun tidak dibarengi sosialisasi.
Karena penarikan royalti dari LMKN seperti yang mulai dirasakan sejumlah pengusaha kafe atau hotel terkesan tindakan premanisme berkedok pajak.
"Seharusnya itu disosialisasikan atau ditandai, mana saja lagu yang tidak masuk kategori royalti atau musik mana saja yang dihibahkan oleh pencipta atau penyanyinya," tegasnya.
Baca juga: Menkum: Aturan Kafe Wajib Bayar Royalti Tak Boleh Bebani UMKM
Sedangkan usaha otobus pada kondisi saat ini tidak seperti tahun lalu.
Penumpang bus tidak seramai dulu akibat kondisi ekonomi sekaligus banyak larangan atau batasan kunjungan luar kota bagi siswa.
Sedangkan biaya operasial bus masih tetap dan cenderung naik.
"Saya masih 5 tahun memulai usaha otobus ini, kalau regulasinya ribet dan tidak banyak diketahui tentu sangat memberatkan," katanya.
Baca juga: Menkum Pastikan Musik di Acara Pernikahan Tak Kena Royalti
Wawan, salah satu kru bus, juga mengaku sangat bingung untuk melayani para penumpang jika tidak mengetahui kategori musik yang terkena tarif royalti.
Mereka menyangka jika semua musik yang sudah beredar itu sudah bisa dinikmati tanpa harus terkena pajak.
"Kalau nyetel (memutar) musik kan lewat handphone, kita sudah beli paket data. Kan sudah bayar, masak juragan (pemilik) bus harus bayar lagi gara-gara musik," katanya.
Dia berharap saat ini pemerintah setidaknya tidak membuat aturan yang terlalu ribet sehingga menghambat perekonomian rakyat kecil. Tidak semua usaha terkena pajak.
"Kalau dikit-dikit pajak, dikit-dikit pajak wah susah kita. Harusnya lebih bijak kalau mau menerapkan pajak," harapnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang