MALANG, KOMPAS.com - Wakil Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Wamendiktisaintek) Prof. Stella Christie menyebut bahwa partisipasi sektor swasta dalam pendanaan riset di Indonesia masih sangat rendah.
"Persenannya agak masih sulit dihitung, tapi terus terang saja kami merasa masih terlalu rendah," kata Prof. Stella usai memberi kuliah umum kepada para mahasiswa baru di Universitas Negeri Malang, Senin (18/8/2025).
Meski begitu, ia mencoba membandingkan kondisi di negara maju seperti Amerika Serikat dan China, yang dikatakannya sektor swasta mampu menyumbang 40 hingga 60 persen dari total dana riset nasional.
Baca juga: Kemendikti Saintek Dapat Tambahan Dana Riset Rp 1,8 Triliun
Untuk mengatasi tantangan ini, pihaknya secara proaktif menggandeng Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan perusahaan lainnya, serta mengubah paradigma penyaluran dana riset menjadi lebih strategis dan berbasis kebutuhan industri nasional.
"Jadi kami kerja keras untuk menggalang. Kalau bisa dilihat kami sekarang sangat erat hubungannya dengan para BUMN-BUMN, dan juga dengan para perusahaan-perusahaan baik besar maupun menengah," katanya.
Baca juga: Era Baru Pengelolaan Dana Riset
Meski begitu, Kemendiktisaintek kini telah menambah alokasi dana riset sebesar Rp 1,8 triliun, atau naik 85 persen dalam 10 bulan terakhir, yang disalurkan melalui Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP). Prof. Stella mengakui jumlah tersebut belum cukup dan upaya menggaet swasta masuk menjadi prioritas.
“Apakah masih kurang? Kurang, tapi terus kami upayakan. Dana riset penting yang terus kami galang," katanya.
Salah satu strategi yang dilakukan dengan mengubah pendekatan dana riset yang bersumber dari LPDP. Jika sebelumnya dana riset bersifat terbuka untuk proposal apa pun dari para peneliti, kini juga dialokasikan secara strategis untuk menjawab kebutuhan konkret negara dan industri.
"Sebelumnya itu mengenai dana riset itu terbuka, jadi silakan kalau dosen-dosennya melakukan apa itu silakan dimasukkan. Itu tetap berjalan lewat dana riset yang dari APBN," katanya.
"Tetapi dana riset yang tadi saya bilang Rp 1,8 triliun dari mitra kami LPDP yang disalurkan lewat Kementerian Pendidikan Tinggi Sains dan Teknologi itu kami menjadi dana riset strategis. Artinya tidak dibuka terserah mau proposalnya apa, tetapi kita melihat kebutuhan negara dan kebutuhan industri," sambungnya.
Kebutuhan industri kemudian dipetakan dan ditawarkan kepada para peneliti di universitas, sehingga proposal yang masuk akan memiliki relevansi dan daya serap yang tinggi di dunia usaha.
"Sehingga kebutuhan dari industri itu akan match langsung dengan apa yang proposal dari para dosen-dosen kita. Itu yang kita tekankan sekali," katanya.
Untuk mendorong keterlibatan langsung industri, Kemendiktisaintek juga menerapkan skema co-funding. Dalam skema ini, perusahaan diwajibkan menanggung 15 persen dari total biaya riset, sementara 85 persen sisanya ditopang oleh kementerian.
"Jadi untuk co-funding ini dana riset seluruhnya untuk peneliti, tetapi harus 15 persen dari perusahaan, 85 persen dari kementerian. Itu juga jadi kami ingin agar industri berpartisipasi, jadi terus kami tingkatkan. Nanti mungkin akhir tahun bisa kami laporkan peningkatannya," ungkapnya.
Terkait peran mahasiswa, Prof. Stella menekankan bahwa dana riset bersifat kompetitif. Ia menganjurkan mahasiswa untuk tidak terburu-buru melakukan riset mandiri, melainkan aktif terlibat dalam proyek-proyek riset yang dipimpin oleh dosen mereka.
"Tugas kementerian adalah memberikan sebanyak-banyaknya dukungan dana dan regulasi kepada dosen. Itu kesempatan adik-adik ikut riset. Perlu bimbingan untuk mendapatkan hasil riset terbaik melalui dosen," pungkasnya.
Dengan kolaborasi yang semakin erat antara pemerintah, akademisi, dan industri, diharapkan ekosistem riset dan inovasi di Indonesia dapat tumbuh lebih kuat dan memberikan dampak nyata bagi kemajuan bangsa.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang