MALANG, KOMPAS.com - Fenomena penggunaan sistem suara berdaya masif yang dikenal sebagai sound horeg dalam kegiatan karnaval kini menjadi sumber keresahan serius di Kota Malang, Jawa Timur.
Praktik yang sebelumnya marak di wilayah kabupaten ini telah menyebar ke area perkotaan dan memicu konflik sosial.
Seperti kericuhan yang terjadi dalam karnaval di Kelurahan Mulyorejo, Kecamatan Sukun, pada Minggu (13/7/2025) lalu.
Baca juga: Kapolres Gresik Imbau Warga Tak Gunakan Sound Horeg
Menanggapi situasi ini, Budayawan dan Ketua Forum Komunikasi Kelompok Sadar Wisata (Forkom Pokdarwis) Kota Malang, Isa Wahyudi, menyuarakan kritik keras.
Pria yang akrab disapa Ki Demang ini menilai bahwa sound horeg bukan lagi sekadar hiburan.
Melainkan sebuah ancaman nyata bagi ketertiban umum dan kesehatan masyarakat.
Ki Demang menegaskan bahwa intensitas suara sound horeg yang bisa mencapai 150 hingga 185 desibel jauh melampaui ambang batas aman bagi pendengaran manusia, yang umumnya berada di bawah 85.
"Ini bukan lagi soal selera musik, tetapi sudah masuk kategori polusi suara ekstrem yang berbahaya," kata Ki Demang, Jumat (18/7/2025).
Baca juga: Fatwa MUI Pamekasan: Sound Horeg Mengarah pada Kegiatan Maksiat dan Haram
"Paparan suara sekeras itu tidak hanya berisiko menyebabkan kerusakan pendengaran permanen, tetapi juga mampu menimbulkan kerusakan fisik pada properti warga, seperti menyebabkan kaca jendela pecah akibat getaran hebat," sambungnya.
Selain dampak fisik, Ki Demang juga menyoroti tajam adanya pergeseran norma budaya dan kesusilaan yang menyertai karnaval sound horeg.
Ia mengkritik keras penampilan tarian yang cenderung erotis dengan iringan musik DJ, mengubah karnaval menjadi arena yang ia sebut sebagai diskotek berjalan.
Menurutnya, yang lebih memprihatinkan adalah pelecehan terhadap busana adat.
"Kita melihat pemakaian kebaya dan jarik yang dimodifikasi secara tidak pantas. Misalnya jarik yang dikenakan jauh di atas lutut. Ini adalah penghinaan terhadap nilai-nilai etika dan kesopanan yang melekat pada pakaian warisan budaya kita," jelasnya.
Baca juga: Polda Jatim Imbau Masyarakat Tidak Menyelenggarakan Festival Sound Horeg
Melihat dampak negatif yang meluas, Ki Demang mendesak Pemerintah Kota (Pemkot) Malang untuk segera mengambil tindakan tegas.
Ia meminta Wali Kota Malang untuk menerbitkan Surat Edaran (SE) resmi yang melarang secara eksplisit penggunaan sound horeg dalam setiap kegiatan publik.
"Pemerintah tidak boleh tinggal diam. Perlu ada aturan yang jelas dan mengikat, yang disampaikan hingga ke tingkat kelurahan," ujarnya.
Baca juga: Soal Sound Horeg, Bupati Bangkalan: Selama Masyarakat Menerima, Tak Masalah
Menurutnya, penggunaan pengeras suara dalam acara publik harus diatur sesuai kapasitas dan peruntukannya, bukan disamaratakan dengan sound horeg yang jelas-jelas meresahkan.
Langkah ini, menurutnya, sejalan dengan fatwa haram yang telah dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.
Ki Demang memandang fatwa tersebut sebagai respons yang logis dan perlu terhadap realitas di lapangan, di mana sound horeg terbukti lebih banyak mendatangkan dampak buruk (kemudaratan) daripada manfaat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang