LUMAJANG, KOMPAS.com - Yulianto, seorang petani asal Desa Karanganom, Kecamatan Pasrujambe, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mengalami kerugian hingga puluhan juta rupiah setelah menanam ubi varietas gatot kaca.
Varietas ini merupakan hasil penelitian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
Selama dua tahun, Yulianto nekat menyewa lahan seluas 2,5 hektar meskipun tidak memiliki tanah sendiri. Ia terpesona oleh hasil dan harga jual ubi tersebut.
Pada tahun pertama, hasil panennya cukup memuaskan karena 1 kilogram ubi gatot kaca dapat dijual seharga Rp 3.500, dengan total produksi mencapai 40 ton per hektar.
Baca juga: BRIN Kembangkan Finebubble, Tingkatkan Produktivitas Pertanian dan Peternakan
Dengan lahan 2,5 hektar, ia dapat memanen sekitar 100 ton ubi, setara dengan Rp 350 juta sekali panen.
Namun, pada tahun kedua, situasi berubah drastis.
Setelah mengeluarkan modal hingga Rp 100 juta, Yulianto tidak dapat menjual hasil panennya.
Ubi yang seharusnya dipanen dalam waktu 4,5 bulan justru membusuk setelah 8 bulan karena kemitraan yang berjanji akan menyerap hasil panen tidak kunjung datang.
“Harusnya dipanen usia 4,5 bulan. Tetapi yang ini usia 8 bulan jadinya busuk. Kemitraan tidak menyerap, mereka tidak datang untuk memanen. Dulu mau dijual ke orang lain, tidak boleh. Sekarang membusuk,” keluh Yulianto saat ditemui di lahan, Selasa (22/4/2025).
Baca juga: BRIN Gandeng Korsel untuk Bangun Rumah Kaca Pintar di Indonesia
Menurut Yulianto, perjanjiannya dengan mitra tidak tertulis di atas kertas, melainkan hanya bermodalkan kepercayaan.
Mitra yang dimaksud adalah pengepul ubi yang cukup terkenal di Kecamatan Pasrujambe, yang membuatnya memberanikan diri menanam ubi gatot kaca dalam jumlah besar.
Ia juga menjelaskan bahwa bibit ubi yang ditanam berasal dari teman mitra tersebut, yang bahkan menyewakan alat untuk penanaman.
“Seharusnya kan komitmen. Ini saya merugi besar. Karena total biaya yang dikeluarkan sampai Rp 100 juta,” tambahnya.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Lumajang, Ishak Subagyo, mengakui bahwa ubi gatot kaca merupakan varietas unggulan yang diakui BRIN.
Baca juga: BRIN Kembangkan Sistem AI untuk Diagnosis Malaria, Tingkatkan Akurasi Pemberantasan Penyakit
Namun, ia menekankan bahwa dalam praktiknya, tidak ada pendampingan yang komprehensif untuk para petani.
“Seharusnya ada pengawalan dari mulai produksi hingga panen. Ke mana pasarnya? Ini tidak, petani dibiarkan terkecoh dengan katanya varietas unggulan tetapi tidak ada pendampingan."
"Padahal ini kualitas ekspor. Kan sekarang kasihan, yang jadi korbannya ini petani,” keluh Ishak.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang