SIDOARJO, KOMPAS.com - Di ruang tunggu lantai 1 Terminal Purabaya Bungurasih Sidoarjo, Jawa Timur, segerombolan orang sedang menunggu jadwal keberangkatan bus.
Barang mereka tidak cukup hanya satu tas ransel, bahkan ukuran jumbo sekalipun.
Mereka membawa barang bawaan berlapis-lapis yang dikemas dalam beberapa tas, termasuk tas ransel, tas jinjing, bahkan kardus bekas.
Wajah mereka tampak lelah setelah mengarungi perjalanan jauh.
Baca juga: Mudik Lebaran, Wali Kota Semarang Ingin ASN Boleh Gunakan Mobil Dinas tapi Terbentur Aturan
Beberapa di antara mereka memilih tidur untuk menghilangkan kantuk sejenak sebelum kembali melanjutkan perjalanan.
“Kami rombongan 50 orang, dari Labuan Bajo, NTT, kemudian di sini transit untuk pulang ke masing-masing daerah,” kata ketua rombongan, Supardi, saat ditemui Kompas.com di Terminal Purabaya Bungurasih pada Senin (24/3/2025).
Baca juga: Tingginya Animo Mudik Lebaran di Bandara Tjilik Riwut dan Cara Warga Antisipasi Kehabisan Tiket
Selain menahan lelah menempuh perjalanan laut sejak Sabtu (22/3/2025) pukul 14.00 WIB dan baru tiba di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya pada Senin (24/3/2025) pukul 10.00 WIB, mereka juga merasakan lapisan rindu yang harus dibayar setelah hampir empat bulan lamanya tidak menengok keadaan keluarga di kampung halaman.
Beruntung, 50 orang yang bekerja di salah satu proyek pembangunan di Labuan Bajo tersebut mendapat izin cuti dari perusahaan untuk merayakan Hari Raya Idul Fitri 2025 di kampung halaman.
“Kalau saya mau pulang ke Lamongan. Jadi dapat libur dari perusahaan semuanya. Ada yang pulang ke Bandung, Malang, Yogyakarta, Semarang, dan daerah lain,” ucap Supardi.
Tidak hanya mendapat izin cuti Lebaran, biaya mudik para pekerja tersebut dari Labuan Bajo, NTT, menuju Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya ditanggung perusahaan sebesar Rp 660.000, yang cukup meringankan beban pikir mereka.
Mudik rombongan bersama 50 orang lainnya bagi Supardi bukanlah hal baru.
Setiap kali mendapat jatah libur, mereka kerap memanfaatkan waktu tersebut bersama-sama.
Namun, tak banyak oleh-oleh yang bisa dibawa pulang dari Labuan Bajo.
Selain untuk bekerja, Supardi dan kawan-kawannya harus berhemat selama hidup di tanah rantau.
“Tidak bawa oleh-oleh karena bahan pokok dan segala macamnya di sana serba mahal untuk ukuran kami sebagai pekerja. Kebanyakan soalnya dikirim dari Jawa,” imbuhnya.
Meski belum sepenuhnya terlayani, ia merasa cukup terbantu dengan adanya pos kesehatan saat berada di kapal.
“Kemarin ada cek kesehatan di kapal, bisa cek darah sama kolesterol,” ucapnya dengan sedikit senyum.
Kendati demikian, ia berharap pemerintah maupun pihak swasta dapat menambah jumlah armada kapal dan rute jalur laut untuk memudahkan akses masyarakat.
“Semoga ada tambahan kapal karena penuh sesak itu. Kemarin yang menjadi masalah adalah toilet yang terbatas,” pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang