MALANG, KOMPAS.com – Di tengah semaraknya kuliner modern, Ronde Titoni tetap berdiri kokoh sebagai salah satu warung legendaris di Kota Malang.
Sejak didirikan pada 1948, warung ini terus menjadi primadona bagi pecinta wedang ronde dan angsle, menawarkan rasa autentik yang bertahan lintas generasi.
Berada di Jalan Zainul Arifin No. 18, Sukoharjo, Kecamatan Klojen, warung ini tak hanya menghadirkan kehangatan dalam semangkuk ronde, tetapi juga membawa sejarah panjang yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Perjalanan Ronde Titoni dimulai dari pikulan keliling yang dibawa oleh Abdul Hasni, sang pendiri, di kawasan Pasar Besar Malang dan Pecinan.
Pada 1970-an, ia mulai menggunakan gerobak dan menetap di depan Toko Titoni, sebuah toko terkenal di kawasan tersebut. Nama Titoni pun akhirnya melekat dan menjadi identitas usaha ini.
Pada 1988, warung ini resmi berpindah ke lokasi tetapnya yang sekarang. Sugeng Prayitno, putra Abdul Hadi, kini menjadi generasi kedua yang menjaga keautentikan rasa ronde.
"Saya bantu orang tua sejak SMP kelas 2. Saya tidak melanjutkan sekolah dan bekerja mengelola Ronde Titoni. Sekarang, saya dibantu anak saya, generasi ketiga yang sudah ikut berjualan sejak lima tahun lalu," kata Sugeng.
Baca juga: Resep Wedang Ronde Hangat untuk Musim Hujan
Kini, Sugeng lebih banyak menghabiskan waktu di dapur, menyerahkan bagian pelayanan kepada anaknya, Yanuar Risky.
Jika dulu menu Ronde Titoni hanya terdiri dari ronde campur, kini pilihan semakin beragam dengan tambahan angsle dan kacang kuah, yang selalu disantap bersama cakwe hangat.
"Kalau ayah saya yang jual pertama kali ya ronde campur itu. Nah, kemudian berkembang ke angsle dan kacang kuah, yang sampai saat ini sering dicari," ungkap Sugeng.
Perjalanan waktu juga membawa perubahan dalam harga.
Di tahun 1980-an, semangkuk ronde hanya dihargai Rp 500. Kini, harga tentu berbeda, namun rasa yang khas tetap dipertahankan.
Suasana tempat kuliner legendaris Kota Malang, Ronde Titoni.Di saat banyak usaha kuliner merambah waralaba dan pemesanan online, Sugeng tetap setia dengan cara tradisional. Ia percaya, menikmati ronde di tempat memiliki sensasi berbeda dibandingkan membawanya pulang.
"Kalau terlalu banyak, nanti jadi pasaran. Saya buat strategi biar orang datang langsung dan merasakan kepuasannya. Biasanya makanan yang dimakan di lokasi dan dibawa pulang rasanya beda, mungkin lebih enak di tempat," katanya.
Meskipun tidak menerima pemesanan online, Ronde Titoni tetap beradaptasi dengan zaman dengan menyediakan pembayaran digital via QRIS.