SURABAYA, KOMPAS.com - Sehari menjelang perayaan Tahun Baru Imlek 2576 Kongzili, etnis Tionghoa akan membuka altar untuk menjalankan sembahyang leluhur.
Hal ini dilakukan dengan menyajikan sejumlah sesajen yang bertujuan untuk menghormati dan mendoakan para leluhur yang telah meninggal.
Untuk menggali lebih dalam tentang sembahyang leluhur menjelang Imlek, Kompas.com menemui Suk Doni, tetua di Kampung Pecinan, Surabaya, Jawa Timur.
Baca juga: Tim Jibom Sterilisasi Vihara di Bandung, 448 Anggota Polisi Siaga Jelang Imlek
Suk Doni mengatakan bahwa setiap makanan yang disajikan dalam sembahyang itu memiliki beragam makna dan filosofis.
Misalnya, manisan yang terdiri dari buah kesemek kering, kelengkeng, gula batu, angco atau kurma merah china, dan tangkua atau gula kundur yang melambangkan lima elemen. Yakni, jin yang berarti emas atau logam, mu yaitu kayu, shui yaitu air, huo yaitu api, dan tu yaitu tanah.
“Kelima elemen tersebut kita persembahkan untuk para dewa agar kehidupan alam semesta ini selalu dijaga,” jelas Suk Doni, Selasa (28/1/2025).
Baca juga: Perayaan Imlek 2025 di Solo, Simak Rekayasa Lalu Lintasnya
Dia menuturkan, leluhur yang sudah lama meninggal akan disajikan mi. Sedangkan, untuk leluhur yang meninggalnya belum lama, tidak boleh menikmati persembahan mi karena ditakutkan nantinya akan digerogoti oleh cacing.
“Jadi setiap leluhur ada batas dan tempatnya yang berbeda. Kalau yang meninggalnya sudah cukup lama, derajatnya juga akan lebih tinggi,” kata Suk Doni.
Selain itu, ada berbagai macam buah-buahan seperti jeruk sebagai simbol keberuntungan, dan pisang raja dimaknai agar kehidupan anak cucunya bak seorang raja atau derajatnya ditinggikan seperti raja.
“Tapi buah ini juga berbeda-beda setiap rumah. Kadang tergantung juga leluhurnya suka buah apa, itu yang disajikan,”tuturnya.
Uang-uangan kimcoa untuk dewa dan mucoa untuk leluhur dalam sesajen sembahyangan leluhur sehari menjelang imlek, Selasa (28/1/2025).“Supaya leluhur di atas sana kalau melihat anak cucunya hidup rukun jadinya senang,” ucapnya.
Dalam sesajen tersebut, terdapat beberapa sajian yang dipersembahkan khusus untuk dewa dan khusus untuk leluhur.
Contohnya nasi, kopi, rokok, dan babi yang dipersembahkan untuk leluhur. Sementara, hidangan seperti arak, teh, kue mangkok, bakpao, dan sayur dipersembahkan untuk dewa.
“Jumlah nasi dan gelasnya ini juga disesuaikan dengan berapa jumlah leluhur yang meninggal. Kalau saya karena ada tujuh orang jadi disajikannya ada tujuh,” ujar Suk Doni.
Ada pula uang-uangan yang yang terdiri dari dua macam. Pertama, kimcoa berarti uang yang ditujukan untuk dewa dan mucoa berarti uang yang ditujukan untuk leluhur.
”Banyaknya kimcoa atau mucoa ini tidak ada batasan. Tergantung setiap orang mampu membeli berapa banyak,” tuturnya.
Sebelum matahari terbenam, sesajen tersebut tidak boleh langsung dibersihkan. Namun, akan dibakar terlebih dahulu bersama dengan berbagai hidangan tersebut.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang