NGAWI, KOMPAS.com - Wajah Kepala Desa Karangpatihan Suyatno terlihat sendu. Persoalan krisis air yang melanda desanya, tak kunjung berlalu, dan terus membebaninya.
Desa Karangpatihan merupakan salah satu satu dari 17 desa yang mengalami kekeringan dan krisis air di wilayah Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur.
Bahkan Desa Karangpatihan, Kecamatan Balong adalah desa yang paling terdampak parah dalam bencana kekeringan kali ini.
Suyatno mengaku, kekeringan di desanya sudah terjadi sejak bulan Mei lalu, karena hujan sudah tidak turun sejak saat itu.
Baca juga: Musim Hujan Dimulai, tapi Krisis Air Bersih di Kabupaten Banyumas Berlanjut
Program Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) yang digunakan warga setempat juga ternyata tidak mencukupi.
Sang Kades menyebut, aliran air kecil dan bahkan kerap mati akibat debit air dari sumur sibel berkurang.
“Andalannya dari Pamsimas, tapi sejak bulam Mei mulai kecil karena debit air terus turun. Kalau disedot hanya satu jam, setelah itu airnya habis,” ujar Suyatno lirih.
Dia lalu mengatakan, sumur warga juga banyak yang kering. Sementara, untuk pergi ke sungai jaraknya terlalu jauh dari permukiman warga.
“Satu satunya pemenuhan air bersih warga ya dari droping air bersih dari BPBD dan instansi lainnya seperti PDAM, Polres, Polsek."
"Untuk droping air bersih itu hanya seminggu sekali,” imbuh Suyatno.
Baca juga: Kekeringan Meluas di Ponorogo, 15 Desa Terancam Krisis Air Bersih
Karena keterbatasan air bersih, menurut Suyatno, warga berupaya mencukupkan ketersediaan air bersih untuk kegiatan air minum, memasak.
Sementara, untuk kegiatan mencuci dan mandi warga memilih menghemat persediaan air bersihnya.
”Masyarakat ya harus pandai pandai membagi kebutuhan air agar cukup selama menunggu pengiriman air yang seminggu sekali,” ucap dia.
Sementara, terkait kagiatan pertanian di Desa Karangpatihan, Suyatno memastikan petani memilih membiarkan lahan mereka tak ternami.
"Kalau sawah ya tidak ditanami tanahnya saja sampai pecah pecah,” kata dia.