KOMPAS.com - Puluhan orang yang tergabung dalam Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) menggelar demonstrasi. Mereka menggeruduk Kantor Bupati Lumajang, Jumat (5/7/2024).
Para pendemo menuntut Penjabat (Pj) Bupati dan Sekretaris Daerah Kabupaten Lumajang mundur dari jabatannya.
Dalam orasinya, mereka menyatakan kedua pejabat utama Pemkab Lumajang ini telah mati hati nuraninya karena menghapus honor guru non-NIP mulai 1 Juli 2024.
"Kita ingin Pj Bupati dan Sekda mundur dari jabatannya karena tidak lagi berpihak kepada guru, padahal mereka semua bisa duduk di posisi saat ini karena dididik oleh guru," kata salah satu pendemo.
Baca juga: Pilkada 2024: Lumajang, Pasuruan dan Pulau Madura Masuk Kategori Sangat Rawan
Pantauan Kompas.com, pendemo datang membawa keranda bergambar Pj Bupati Lumajang Indah Wahyuni dan Sekda Agus Triyono.
Kemudian, mereka membakar keranda itu di depan pagar Pemkab Lumajang. Sebelum dibakar, pendemo lebih dulu melantunkan adzan sebagai simbol mengantarkan mayat.
Setelah berorasi lebih dari satu jam dan tidak ditemui Pj Bupati maupun Sekda, para pendemo mengamuk dan mencoba merangsek masuk ke dalam.
Namun, upaya mahasiswa itu diadang polisi. Aksi saling dorong pun tidak terhindarkan.
Bahkan, polisi tampak beberapa kali menyemprotkan air dari mobil water cannon untuk membubarkan pendemo.
Para pendemo pun tampak melemparkan barang-barang yang ada di sekitarnya seperti tong sampah dan baliho kepada polisi.
Plt Asisten Administrasi Pemkab Lumajang Ahmad Taufik sempat bertemu pendemo.
Namun, lagi-lagi mereka menolak berdialog jika bukan Pj Bupati atau Sekda yang menemui.
Sohibuddin, salah satu peserta aksi tersebut mengaku kecewa dengan sikap yang ditunjukkan pemerintah.
Baca juga: Madura, Lumajang, dan Pasuruan Disebut Rawan Saat Pilkada 2024, Kapolda Jatim Ungkap Alasannya
Ia mengatakan, kedatangannya bersama para peserta aksi lain untuk menyampaikan aspirasi malah dihadang aparat yang terus menghalangi untuk bertemu Pj Bupati dan Sekda.
"Kami membawa suara para guru yang sudah didzolimi tapi kami malah dianggap hewan yang tidak diperbolehkan masuk malah kami ditindas seperti sampah," kata Sohibudin di sela-sela aksi.