LUMAJANG, KOMPAS.com - Windy Meiliyah (39), adalah salah satu sosok yang menjaga seni tradisional asal Lumajang, Jawa Timur Tari Topeng Kaliwungu.
Penciptanya kesenian tersebut adalah Mbah Sanemo. Pria keterunan Madura dan keluarganya telah berpindah ke Lumajang, tepatnya di Desa Kaliwungu, Kecamatan Tempeh.
Baca juga: Tari Orek-orek Ngawi, Seni Perjuangan Pekerja Rodi yang Terancam Punah
Mbah Sanemo mengakulturasikan kebudayaan Madura dengan Matraman sampai terciptalah Tari Topeng Kaliwungu.
Tarian ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) milik Kabupaten Lumajang oleh Kementerian Pendidikan pada 2021.
Sejak saat itu, Tari Topeng Kaliwungu mulai banyak diketahui orang. Cara menari dan makna filosofisnya juga mulai dipelajari.
Baca juga: Kisah Atu, Menggeluti Seni sejak Sekolah hingga Jadi Pelukis Jalanan di Blok M
Bisa dikatakan, Windy merupakan generasi ketiga pewaris Tari Topeng Kaliwungu. Ia belajar dari Mbah So (60) tukang becak asal Kecamatan Pasirian yang dulunya merupakan murid langsung dari Mbah Sanemo, sang pencipta Tari Topeng Kaliwungu.
Mbah So sendiri pernah mengakui kehebatan Windy dalam membawakan tarian Topeng Kaliwungu.
Menurut Mbah So, semua ilmu menari yang didapatkannya dari Mbah Sanemo telah diturunkan kepada Windy.
"Saya sudah tua untuk menari, semuanya sekarang saya percayakan sama Windy, dia sudah belajar tari sama saya mulai SD, bisa dibilang semua yang diajarkan Mbah Nemo sudah saya turunkan ke Windy," kata Mbah So kepada Kompas.com, Rabu (20/9/2023).
Perjuangan Windy untuk menghidupkan Tari Topeng Kaliwungu dimulai sekitar tahun 2020.
Menurutnya, saat itu, tari topeng sudah lama tidak pernah muncul dan tidak banyak mendapat tempat di panggung pertunjukan.
Saat pandemi Covid-19 melanda, kekhawatiran Windy akan masa depan Tari Topeng Kaliwungu bertambah. Sebab, saat itu praktis semua kegiatan masyarakat dibatasi.
Ia khawatir, apabila semakin lama hilang dari masyarakat, bukan tidak mungkin Tari Topeng Kaliwungu akan dilupakan sebagai salah satu identitas Lumajang.
Windy lantas memutuskan untuk bergerilya di tengah keterbatasan mobilitas masyarakat dengan mendatangi sanggar-sanggar tari mengajarkan Tari Topeng Kaliwungu.
Tujuannya saat itu hanya satu. Agar regenerasi penari Topeng Kaliwungu tidak lekang dimakan waktu.
Tidak hanya melatih menari, Windy juga membangun komunikasi dengan para akademisi untuk melakukan penelitian yang komprehensif tentang Tari Topeng Kaliwungu.
Usahanya berbuah manis saat Tari Topeng Kaliwungu ditetapkan sebagai WBTB milik Kabupaten Lumajang oleh Kemendikbud pada 2021.
"Jadi waktu pandemi itu saya dibantu pegiat seni lainnya keliling ke sanggar-sanggar untuk melatih tari topeng, hampir setiap minggu keliling, biar gak hilang karena dulu sempat lama hilang," kata Windy di Lumajang, Kamis (20/6/2024).
Baca juga: 6 Seni Pertunjukan Tradisional di Indonesia, Salah Satunya Wayang
"Komunikasi juga sama dosen saya dulu waktu kuliah untuk dibantu penelitian dan akhirnya punya naskah akademik dan kita ajukan WBTB alhamdulillah lolos," lanjutnya.
Namun, tantangan tidak berhenti di situ. Windy harus memutar otak agar Tari Topeng Kaliwungu mudah dipelajari dan bisa dinikmati semua kalangan.
Windy kemudian berinisiatif memadatkan varian gerakan Tari Topeng Kaliwungu yang awalnya berdurasi 1 jam menjadi 6 menit.
Tujuannya, agar Tari Topeng Kaliwungu mudah untuk diajarkan dan menarik untuk ditonton oleh semua kalangan.
Namun, sebelum itu, ia harus meminta izin terlebih dahulu kepada gurunya. Awalnya, Mbah So menolak karena pertimbangan keaslian Tari Topeng Kaliwungu.
Namun, setelah dijelaskan maksud dan tujuan pemadatan gerakan tari, Mbah So pun setuju.
"Kita ada sedikit improvisasi dari versi aslinya. Karena kalau asli itu sekitar satu jam. Nah itu kalau ditampilkan akan banyak yang bosan, jadi kita padatkan hanya 6 menit. Pamitan juga ke Mbah So, awalnya ya enggak setuju tapi kita jelaskan dan ternyata disetujui," kata dia.
Windy Meiliyah (kanan) generasi ketiga penjaga keaslian Tari Topeng Kaliwungu Belakangan, diketahui ada beberapa penari dan sanggar tari yang mereduksi keaslian dan estetika Tari Topeng Kaliwungu.
Contohnya, gerakan gesekan dobel dihilangkan. Kemudian, tempo dan power gerakan cakilan juga dikurangi.
Padahal, menurut Windy, gerakan-gerakan tersebut merupakan identitas Tari Topeng Kaliwungu yang membedakannya dengan tari topeng yang lain.
Selain itu, gerakan-gerakan inti yang tampak dikurangi itu adalah yang telah terdaftar di WBTB.
Menurut Windy, penyebab mulai direduksinya keaslian Tari Topeng Kaliwungu karena penari sekarang mengalami kesulitan mempelajari gerakan tersebut.
"Ada beberapa gerakan inti yang disederhanakan, padahal itu adalah identitas Tari Topeng Kaliwungu dengan tari topeng yang lain. Penghilangan ini akhirnya diikuti kelompok atau sanggar tari yang lain, padahal yang dihilangkan ini sudah terdaftar di WBTB," jelasnya.
Untuk menjaga keaslian dan estetika Tari Topeng Kaliwungu, Windy mengaku sudah meminta Dinas Pendidikan Kabupaten Lumajang untuk melakukan pembinaan kepada sanggar tari.
"Kalau saya langsung yang bilang ke teman-teman sanggar mungkin ada beberapa akan menerima saran dari saya, tapi tidak menutup kemungkinan malah sebaliknya, lebih baik dinas melakukan pembinaan," terangnya.
Baca juga: Kronologi Minibus Rombongan Peziarah Tabrak Truk Parkir di Lumajang, Sopir Mengantuk
Jumlah penari muda dalam roda regenerasi Tari Topeng Kaliwungu terus bertambah.
Apalagi, saat ini, Tari Topeng Kaliwungu telah menjadi ekstrakurikuler yang wajib ada di sekolah mulai jenjang Taman Kanak-kanak (TK) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA).
"Kalau jumlahnya sekarang lebih dari 1.000 penari, regenerasinya banyak mulai TK sampai SMA ada," ucap Windy.
Masalahnya, tidak banyak penari ini yang menjadikannya kegiatan menari sebagai profesi. Rata-rata, mereka menganggapnya sebatas hobi. Sehingga tidak heran jika para penari memilih pensiun dini saat usianya masih 25 tahun.
Ada yang masih bergerak di bidang tari sebagai pelatih, banyak juga yang banting setir ke profesi lainnya diluar tari.
Padahal, kata Windy, usia 25 tahun merupakan usia emas untuk menggeluti dunia tari.
Lagi-lagi, jaminan kesejahteraan bagi para pelaku kesenian menjadi masalah. Apalagi saat ini tidak banyak kegiatan yang menggunakan Tari Topeng Kaliwungu sebagai salah satu pertunjukan.
Akibatnya, para penari muda akhirnya beranggapan pelaku seni tidak mempunyai masa depan yang cerah.
"Masalah kita sekarang tidak ada penari kita yang berusia diatas 25 tahun, kalau pun ada, dia tidak lagi menari tapi menjadi pelatih karena menganggap dirinya sudah tua untuk menari dan alasan lain seperti pendapatan. Padahal kalau di kota besar itu usia segitu baru memasuki masa emas," ungkapnya.
Baca juga: Bentuk Pertunjukan Gerak Tari Wayang Orang
Menurut Windy, salah satu penunjang kelestarian kesenian tradisional yakni dengan maraknya event atau pertunjukan untuk tampil.
Sayang, pertunjukan yang bisa menjadi penyalur bakat para penari Topeng Kaliwungu ini jarang diadakan.
Pemerintah Kabupaten Lumajang hanya menyediakan beberapa kegiatan dalam satu tahun untuk mewadahi potensi para penari yakni Segoro Topeng Kaliwungu
Kesempatan lain untuk tampil mungkin hanya pada saat peringatan Hari Jadi Lumajang (Harjalu). Selebihnya, bisa dikatakan tidak ada pertunjukan yang bisa mewadahi ribuan penari ini.
Alhasil, para pelestari kesenian ini kerap membuat kegiatan secara mandiri. Tidak jarang, mereka minus pendanaan, bahkan sampai menggunakan dana pribadi dengan berbagai cara
"Minus dana sering, yang sampai menggunakan dana pribadi dan tambal sulam juga ada, tapi ya bagaimana lagi demi menjaga semangat para penari dan Tari Topeng Kaliwungu tetap lestari," pungkasnya.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang