Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mari Donasi untuk Kakek Jumadi dan Rehan, Ayah dan Anak di Lumajang Tinggal di Pondok Bekas Tempat Memasak Air Nira

Kompas.com, 25 April 2024, 05:00 WIB
Miftahul Huda,
Aloysius Gonsaga AE

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kakek Jumadi (71) dan putranya, Rehan (7), warga Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, mengharapkan bantuan anda semua.

Mereka merupakan anak dan bapak yang selama bertahun-tahun tinggal di gubuk bekas tempat memasak air nira.

Berbagai elemen masyarakat telah mengulurkan tangan untuk memperbaiki gubuk tempatnya tinggal bersama sang buah hati.

Kini, kondisinya sedikit membaik. Tempat tinggalnya tidak lagi ditembus angin. Kini, sudah  diberi papan kalsiboard untuk melindunginya dari dinginnya malam dan terik matahari.

Baca juga: Kakek Jumadi dan Anaknya yang Tinggal di Gubuk Bekas Tempat Memasak Nira Akan Dipindahkan

Namun, tempat tinggalnya belum memiliki kamar mandi sehingga untuk buang hajat dan mandi, mereka masih harus ke sungai yang jaraknya lebih dari 500 meter.

Kompas.com bekerja sama dengan Kitabisa.com menggalang dana untuk membantu Jumadi. Uluran tangan Anda dapat disalurkan dengan cara klik di sini.

Sepenggal kisah tentang Jumadi dan Rehan

Sungguh malang nasib Jumadi (71) dan putranya, Rehan (7), warga Dusun Krajan, Desa Jugosari, Kecamatan Candipuro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur.

Ayah dan anak ini sudah hampir 7 tahun tinggal di pondok bekas tempat petani kelapa memasak air nira.

Lokasinya berada di tengah pekarangan dengan pohon-pohon yang menjulang tinggi di belakang pemukiman warga.

Sungguh tempat tinggal Jumadi dan Rehan jauh dari kata layak untuk ditinggali manusia.

Bangunan berukuran 2x3 meter yang terbuat dari kayu dan bambu tanpa ada satupun penutup di empat sisi penjurunya.

Embusan angin setiap hari langsung menerpa badan mereka baik siang maupun malam.

Satu-satunya pelindung dari teriknya matahari dan dinginnya air hujan hanyalah  genteng.

Itu pun, kondisinya sudah sangat memprihatinkan. Lubang-lubang pada genteng sudah tidak terhitung jumlahnya.

Kondisi rumah Jumadi usai direhab. Kondisinya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya yang tanpa dinding.Dok. Pribadi Kondisi rumah Jumadi usai direhab. Kondisinya sudah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya yang tanpa dinding.

Sampai-sampai, untuk berlindung dari tetesan air hujan, Jumadi memasang kain perlak di atas tempat tidur yang berada di salah satu sudut pondok.

Tentu, upaya itu tidak cukup untuk melindungi dari dinginnya malam. Apalagi, alas tempatnya tidur hanyalah kasur lantai tipis yang sudah kumal karena debu dan rontokan genteng serta kayu yang sudah lapuk.

Di tempat yang sangat sempit itu hanya ada satu ruangan berukuran 1x1,5 meter yang terbuat dari bambu.

Ruangan itu digunakan untuk meletakkan perabotan rumah tangga seperti gelas, piring dan beberapa helai pakaian yang mereka gunakan.

Di sebelahnya adalah tempat tidur berupa papan dari kayu yang di atasnya diletakkan kasur lantai.

Kemudian, tepat di depan dua tempat tadi adalah tungku perapian dengan tumpukan kayu bakar yang berserakan.

Baca juga: Nasib Jumadi dan Rehan, Ayah dan Anak yang Tinggal di Pondok Bekas Tempat Memasak Air Nira

Lebih miris lagi saat melihat ada kandang sapi yang terletak kurang dari 10 meter dari tempat tinggal Jumadi dan Rehan.

Memang, tempat yang ditinggali Jumadi dan Rehan adalah bekas tempat berteduh para petani kelapa untuk memasak air nira.

Tempat itu sudah ditempati Jumadi sejak Rehan masih berusia dua bulan. Bertahun-tahun mereka hidup hanya berdua sampai saat ini Rehan duduk di kelas B taman kanak-kanak.

"Mulai di sini waktu Rehan usia dua bulan, ibunya di Jombang," kata Jumadi di rumahnya, Sabtu (30/3/2024).

Mirisnya, tidak ada sanitasi di tempat yang ditinggali Jumadi dan Rehan.

Kompas.com bekerja sama dengan Kitabisa.com menggalang dana untuk membantu Jumadi. Uluran tangan Anda dapat disalurkan dengan cara klik di sini.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari seperti mandi, masak, dan mencuci, mereka harus pergi ke sungai yang jaraknya kurang lebih dari 500 meter dengan berjalan kaki.

"Ya kalau mau buang air ke sungai, mandi ke sungai, air buat masak dan cuci piring juga ke sungai, kalau ada hujan ya pakai air hujan," ceritanya.

Rehan, merupakan anak Jumadi dengan istri keduanya bernama Sunarsih (48) warga Kabupaten Jombang.

Baca juga: Terima Donasi Pembaca Kompas.com, Ibu 4 Anak di Sikka Ucapkan Terima Kasih

Setelah melahirkan Rehan dan merawat bersama hingga berusia dua bulan, keduanya berpisah meski belum resmi secara pengadilan.

Jumadi pun lantas membawa Rehan kembali ke kampung halaman di Lumajang dan tinggal di tempat tidak layak sampai saat ini.

Dengan istri pertama, Jumadi memiliki 3 orang anak. Mereka tinggal tidak jauh dari tempat Jumadi, hanya berbeda dusun.

"Ya kadang (anak) nengok tapi ya jarang mereka sudah sibuk semua kerja," ujarnya.

Makan dari belas kasihan orang

Di usia senjanya, Jumadi sudah tidak bisa bekerja lagi. Untuk menghidupi Rehan, ia menggantungkan diri dari belas kasih tetangga.

Jika tidak ada yang memberinya makanan, terkadang Jumadi berjalan ke rumah anaknya di dusun sebelah hanya sekadar meminta makan.

"Buat setiap hari ya dikasih orang yang penting sabar saja, kadang saya minta ke anak saya di (Dusun) Sumberkajar," jelasnya.

Sebenarnya, Jumadi merupakan keluarga penerima manfaat (KPM) bantuan sosial dari pemerintah.

Namun, ia tidak mengerti bantuan apa yang didapatkannya, apakah program keluarga harapan (PKH) atau program bantuan pangan non tunai (BPNT).

Yang dia tahu, terkadang ia diminta mengambil bantuan di warung berupa beras sambil memberikan kartu ATM BNI.

Baca juga: Penderita Hidrosepalus Aceh Tenggara Terima Donasi Pembaca Kompas.com

Selain beras, Jumadi mengaku hanya sekali menerima bantuan uang tunai sebesar Rp 1.500.000.

"Gak tahu pokoknya suruh ambil beras, kadang punya saya belum habis suruh ambil lagi, uang tunai sekali Rp 1,5 juta, itu sudah lama," ungkapnya.

Sebelum kondisinya seperti ini, dulu Jumadi merupakan petani sekaligus perajin air nira yang dijadikan gula aren.

Pekerjaan itu dikenal masyarakat dengan sebutan nderes. Sayang, uangnya habis untuk hal-hal yang kurang bermanfaat.

Beruntung ada orang berbaik hati bernama Jumali yang memperbolehkan Jumadi tinggal di gubuk kecil yang ditinggalinya saat ini.

"Dulu ya kerjanya nderes, sekarang sudah enggak (kerja). Ini tanahnya Pak Jumali (Alm), dia perbolehkan saya tinggal di sini sampai kapan saja saya mau," terangnya.

Rehan ingin jadi tentara

Di tengah keterbatasan ekonomi yang dirasakan bersama sang ayah, Rehan kecil punya cita-cita tinggi untuk hidup lebih layak dari hari ini.

Saat besar kelak, Rehan ingin mengabdi kepada negara menjadi seorang tentara.

"Mau jadi tentara, bawa tembak," ucap Rehan polos.

Rehan kini bersekolah di Taman Kanak-kanak (TK) yang tidak jauh dari tempatnya tinggal. Biayanya, digratiskan oleh pihak sekolah.

"Sekolah gratis, setiap hari dijemput dan diantar pulang sama gurunya," jelas Jumadi.

Jumadi berharap, masa depan Rehan jauh lebih baik dibanding kondisinya saat ini.

"Kalau sekarang yang penting bisa makan, kalau Rehan pinginnya bisa sekolah terus biar sukses," pungkasnya.

Link donasi

Untuk meringankan beban Kakek Jumadi dan Rehan, mari donasikan sedikit rejeki kita dengan cara klik di sini.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme. Berikan apresiasi sekarang



Terkini Lainnya
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Alasan Kejari Situbondo Tuntut Kakek Pemikat Cendet 2 Tahun Penjara
Surabaya
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Infrastruktur di Lumajang yang Rusak akibat Banjir Lahar Diperbaiki dengan Skema Patungan
Surabaya
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
SEA Games 2025, Atlet Petanque Asal Kota Pasuruan Sumbang Medali Perunggu
Surabaya
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
131 Jukir Liar di Surabaya Ditangkap Sepanjang 2025
Surabaya
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Gubernur Khofifah: Gula Merah Lumajang Bisa Dijual ke Pasar Internasional
Surabaya
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Mahasiswa Terdampak Bencana Sumatera, UTM Bebaskan UKT hingga Semester 8
Surabaya
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Curhat Kurir Paket di Banyuwangi, Kena Omel gara-gara Order Palsu
Surabaya
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Khofifah Tinjau Pembangunan 2 Jembatan yang Ambruk di Lumajang, Pastikan Rampung 31 Desember
Surabaya
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Antre 3 Jam di Pasar Murah Pemprov Jatim di Lumajang, Warga Pulang Tangan Kosong
Surabaya
Unair Terjunkan Bantuan Teknologi dan Tim Manajemen Bencana ke Sumatera
Unair Terjunkan Bantuan Teknologi dan Tim Manajemen Bencana ke Sumatera
Surabaya
Banjir Bandang Probolinggo, Puluhan Rumah dan 4 Jembatan Rusak, Ribuan Warga Terisolasi
Banjir Bandang Probolinggo, Puluhan Rumah dan 4 Jembatan Rusak, Ribuan Warga Terisolasi
Surabaya
Harapan Para Tukang Becak Lansia asal Kota Pasuruan Penerima Becak Listrik: Semoga Diminati seperti Ojek Online
Harapan Para Tukang Becak Lansia asal Kota Pasuruan Penerima Becak Listrik: Semoga Diminati seperti Ojek Online
Surabaya
Pegawai Honorer RSUD Kota Blitar yang Curi Perhiasan Emas Bergaji Rp 3 Juta Lebih
Pegawai Honorer RSUD Kota Blitar yang Curi Perhiasan Emas Bergaji Rp 3 Juta Lebih
Surabaya
Syukur Aziz Jalani Hidup dengan Upah Rp 1.300 per Barang sebagai Kurir Paket
Syukur Aziz Jalani Hidup dengan Upah Rp 1.300 per Barang sebagai Kurir Paket
Surabaya
Hujan Deras, Tanah Longsor Timpa Rumah Warga di Madiun
Hujan Deras, Tanah Longsor Timpa Rumah Warga di Madiun
Surabaya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau