Utomo sebenarnya satu pemikiran dengan Bimo dan setuju perjuangan yang dilakukan anaknya itu.
Sebelum ke Jakarta, dia sudah memberi pesan kepada Bimo bahwa perlawanan terhadap rezim Presiden Soeharto diibaratkan seperti melawan tembok baja.
Tercatat, Bimo selama berjuang tergabung dalam Solidaritas Mahasiswa Indonesia Untuk Demokrasi dan Partai Rakyat Demokratik (PRD).
"Waktu di Surabaya (sebelum ke Jakarta) itu dibawakan majalah retorika Unair, paling senang aku, jadi bapak sejalan dengan pemikirannya Bimo, jadi tahu persis garis perjuangannya. Dia bilang di Jakarta ada 50 anak PRD, saya tanya 'kamu mampu?' di situ kamu menghadapi tembok yang tebal dan tulangnya baja, dia senyum bilang 'paling enggak aku yang menabrak (tembok itu)'," katanya.
Utomo tidak menyalahkan siapa-siapa atas hilangnya Bimo. Dia menganggap bahwa peristiwa yang ada merupakan risiko yang diterima oleh Bimo sebagai aktivis.
Pria pensiunan pegawai RSJ Lawang, Malang, itu juga ingat betul bagaimana perkataan anaknya untuk memperjuangkan demokrasi di Indonesia.
"Sejak awal menyikapi ini hal yang biasa-biasa saja, tidak pernah saya untuk mengeluh atau menyalahkan orang lain, tidak, karena tahu persis garis perjuangan Bimo seperti itu, dan risikonya 4 B disampaikan kepada bapak, 'buruh, bui, buang dan bunuh', saya sebagai orangtua 'wuih'," katanya.
Utomo mengungkapkan, sangat bangga atas perjuangan Bimo. Tercatat, Bimo juga pernah kuliah di FISIP Universitas Airlangga, Surabaya dan sebelum hilang berstatus sebagai mahasiswa di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta.
"Dalam hal ini bapak bangga terhadap Bimo, diakui atau tidak enggak penting, yang jelas Bimo memberikan kontribusi bagi perjuangan demokrasi di Indonesia. Kalau tahu pidatonya saat di Surabaya betul-betul pemicu pergerakan demokrasi," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.